Warung Kopi, Jantung Pasar Cidu (I)

Tulisan ini adalah kumpulan cerita dari berkali-kali menyambangi Warung Kopi Dottoro di Jalan Tinumbu, Makassar. Warkop di bangunan berlantai tiga ini didirikan oleh Daeng Naba tahun 1971. Daeng Naba memutuskan melanjutkan usaha pamannya setelah sejak berusia 12 tahun belajar menjadi pelayan hingga peracik kopi di warkop tersebut. Mulanya warkop ini menempati salah satu sudut bangunan di Jalan Tinumbu, yang dulunya bekas gudang. Kawasan ini memang dikenal sebagai salah satu kawasan pergudangan di Makassar pada dekade 70-an.

Suasana di salah satu warkop di kawasan Pasar Cidu. [Foto: Anwar Jimpe Rachman]

Di Pasar Cidu, pagi selalu dimulai di warung kopi. Sepertinya inilah darah pertama yang menentukan bagaimana hidup warga di kawasan Pasar Cidu dimulai. Dengan gelas-gelas kopi dan perbincangan yang rutin, ganti berganti warga di sekitar pasar ini datang ke warung kopi kecil yang dibangun melengket di dinding bekas gudang rotan. Dengan dinding kayu dan beratap seng sederhana, beberapa meja panjang maka jadilah warung kopi ini menjadi melting pot warga Pasar Cidu. Tempat warga mencair dan bertatap muka.

Begitu hari belum terang tanah, kursi di warung kopi yang sebenarnya tidak terlalu banyak, mulai terisi. Bapak-bapak haji yang pulang dari masjid usai menunaikan salat subuh, singgah untuk memulai sarapan mereka.Tempat mereka adalah di meja panjang di belakang persis berbatasan dengan tembok gudang. Masih membawa sajadah dan sorban yang menjadi penghangat, sekadar penahan dingin dari kulit leher mereka yang telah renta. Sorban model kafayeh yang selalu dipakai Yasser Arafat, pentolan PLO, biasanya berwarna putih dengan garis pembagi berwarna hitam atau merah ini juga menjadi penanda kalau mereka telah menunaikan haji.

Perbincangan mereka mulanya hanyalah hal yang remeh dan sederhana. Tentang kondisi kesehatan mereka dan orang-orang yang mereka kenal—juga, jika baru saja ada tetangga atau rekan mereka yang berpulang, maka sempatlah mereka membahas bagaimana almarhum di masa  hidupnya. Tak perlu soal pencapaian mereka di masa hidup, penghormatan kepada yang telah selesai berurusan dengan hidup ini tetap penting dengan mengenang kebaikan mereka yang telah berpulang.  Mereka selalu membincang soal itu dengan nada getir, sebab meski ajal tak pernah jelas kapan tibanya, namun bagi mereka, hal itu mengintai lebih dekat.

Setelah itu barulah mereka membincang hal di luar diri mereka.Tentang harga beras yang naik karena panenan yang gagal dihajar wereng coklat dan pemerintah yang saat itu terus menggenjot swasembada pangan. Aku selalu ingat Bapak Presiden berpidato di televisi tetangga. Bagi sebagian Pak Haji ini, pemerintah tidak boleh kalah oleh wereng coklat dan harus terus berbuat bagi masyarakat. Bagi sebagian lainnya, panenan yang gagal bisa menjadi hal yang metafisik: jika pemerintah tidak mencegah kemungkaran, maka hasil panen akan selalu gagal seperti yang termaktub dalam kisah-kisah umat nabi di kitab suci. Dan perdebatan di bagian ini selalu panjang dan bertele-tele. Meski aku tak mengerti benar, seingatku ada seorang di antara mereka yang mengutip masa paceklik yang dikisahkan dalam mimpi Raja Mesir yang ditafsirkan Nabi Yusuf, putra Nabi Yakub.

Lalu di bagian inilah mereka kerap berdebat kencang sambil sesekali menyeruput kopi hitam, dengan gula yang sedikit demi menghindari kencing manis di usia mereka yang tak lagi muda. Beberapa di antaranya merokok. Salah seorangnya, si juragan tembakau, membawa kotak anyaman pandan yang berisi tembakau dan lembaran kertas. Ia melintingnya menjadi sebatang rokok. Ketika dihembuskan, asap rokok ini menyembunyikan wajah pemiliknya dalam kabut. Semakin hangat perbincangan semakin kencanglah asap beraroma tembakau itu mewarnai udara pagi. Dan sepertinya, selain asap dari kompor yang memasak kopi arabika, asap itulah yang turut mewarnai dinding yang semula dilapisi cat kapur putih menjadi kuningan kusam.

Matahari mulai tampak. Satu per satu anggota kelompok ini pulang. Ada yang membuka kios di pasar, ada pula mengisi waktu di rumah mereka dengan menunggu salat dhuha, atau sekadar bermain dengan anak cucunya.Tak ada janji besok mereka akan bertemu lagi.

Dan berdasar jadwal yang entah siapa menetapkannya, kelompok kedua warung kopi ini mulai datang. Umumnya yang datang adalah usia pertengahan yang menjadi pegawai kantoran, atau mereka yang akan membuka toko. Mereka membutuhkan penyemangat sebelum bertempur meraup laba atau duduk berdiam di kantor. Mereka biasanya telah memakai seragam pegawai negara ataupun pakaian rapi lengkap dengan rambut yang disisir ke samping. Mereka tak pernah ingin menunggu terlalu lama pesanan mereka diantarkan. Mungkin berkejaran dengan jadwal masuk kantor, sedikit saja pesanan mereka tertahan, mereka akan segera menyeru pada kami pelayan di warung kopi ini.

Umumnya kelompok ini memilih kopi susu dengan menyebut ‘Tipis’ atau ‘Tebal’, dipakai untuk menunjukkan kadar kepekatan kopi yang dicampur susu kental manis. Mungkin yang pertama menahbiskan penyebutannya membayangkan rasa kopi seperti lembaran-lembaran kertas yang akan lekat pada lidahmu lalu lebur menjadi lembaran-lembaran lain yang melekat di lambung hingga aliran darah. Bersama mereka, hari mulai terasa tergesa. Dan si peracik kopi akan lebih kencang mengangkat-turunkan tapisan berisi biji kopi yang telah digiling kasar dari cerek kuningan, lalu memindahkan cairan kopi kental ke dalam gelas yang telah diberi susu kental. Takaran tergantung keinginan tadi: tebal atau tipis.

Selain Tebal-Tipis, kadang ada yang memesan kopi yang dicampur telur ayam kampung. Sepertinya mereka percaya kandungan protein kuning telur ayam kampung akan memberi mereka tenaga lebih untuk bekerja lebih giat, atau mengembalikan semangat mereka setelah melewati malam dengan kepayahan.

Biasanya mereka membaca koran yang baru saja tiba, lalu berbincang sekadarnya tentang berita yang sedang hangat. Tak banyak jenis koran waktu itu. Setelahnya, tak pernah cukup lama, sebagian dari mereka kemudian beranjak. Melihat dari cara mereka menengok arloji di pergelangan tangan, beberapa di antaranya memang mengejar jam masuk yang ditentukan dengan mesin pencatat kehadiran dengan memasukkan kertas ke dalam celah mesin. Pengunjung lain yang tidak harus mengejar detik jam di mesin absen, juga bergegas kembali ke toko untuk mencoba peruntungan; dengan harapan ’setebal laba’ dan ‘setipis rugi’. (bersambung)

Bagikan Tulisan Ini:

Ahmad Syamsuddin (2 Posts)


Tinggalkan Komentar