Catatan di bawah ini adalah catatan Andi Zulfajrin, salah seorang peserta pelatihan penulisan yang diselenggarakan oleh Pertuni-Makassar Nol Kilometer di sekretariat Yayasan Pertuni di Jalan Arif Rahman Hakim, Makassar, beberapa waktu lalu. Fajrin, seperti kebanyakan peserta lainnya hari itu, banyak pula menulis catatan “tapi setelah itu disimpan saja.”
Penyandang disabilitas yang memanfaatkan program Jaws untuk mengakses komputer di Yayasan Pertuni Sulsel. [Foto Istimewa]
Ketika berbicara tentang perbedaan, mungkin kamilah kaum yang sangat sering merasakan pembedaan tersebut. Berbagai macam julukan dan penamaan divoniskan kepada kami. Ada yang bilang sakit, cacat, tak dapat apa-apa, bahkan tak jarang karena pengaruh adat yang masih melekat kami pun dianggap bencana/ kutukan.
Ketika semua cemoohan itu terhampar indah di hadapan kami. Kami tak tinggal diam dalam semua kata-kata generalisir tersebut. Namun kami tak tahu apa yang membuat banyak orang tak mudah menerima kami. Itulah sedikit gambaran dari berbagai penghinaan yang tersurat maupun tersirat, yang seolah tak henti-hentinya mendera hati dan dan perasaan kami.
Saya adalah orang yang terlahir dengan fisik sempurna. Saya dilahirkan dalam keluarga yang sangat sederhana namun bersahaja. Ayah saya yang pada waktu itu masih bekerja di koperasi simpan pinjam (KOSPIN) dan Ibu saya adalah Ibu rumahtangga, merawat saya dan semua saudara-saudara saya dengan kasih sayang. Namun seiring berjalannya waktu, Nenek yang adalah ibu bapak saya, yang akhirnya mengasuh saya dan kedua kakak saya dan membawa kami ke Provinsi Sultra (sebelummnya saya tinggal di Sulsel). Di tempat inilah saya dan kakak-kakak saya dibesarkan oleh nenek dengan kasih, cinta, dan perhatian yang sangat mendalam. Tak terasa waktu terus berjalan. Hingga waktu itu saya sudah duduk di bangku kelas 3 SD dan mulailah saat itu keterbatasan ini sedikit demi sedikit membatasi saya dalam bersekolah. Hari itu yang saya sudah lupa hari apa, saya sudah tidak dapat melihat dengan jelas tulisan apa yang ada di papan tulis, sehingga saya harus bertanya kepada teman saya tentang tulisan di papan tulis itu. ternyata teman yang saya tanya malah bilang, kenapa anak rangking 1 tidak tahu membaca. Mendengar hal itu saya hanya diam.
Pernah malam hari ketika pulang dari salat isya di masjid, Ibu saya menyuruh saya mengaji. Karena tak dapat membacanya dengan baik, Ibu pun memarahi saya dan berkata sesuatu yang saat ini masih membekas di hati saya. mendengar kata itu saya hanya bisa menangis dan berucap, bukannya saya tidak tahu baca Bu, tapi saya tidak bisa lihat.
Setelah itu Ibu pergi, untungnya ada tante dan om saya dengan kasih sayangnya menggantikan Ibu mengajar saya mengaji. Dari semua keganjalan-keganjalan yang semakin terlihat di mata saya, sehingga saya pun dibawa ke Puskesmas setempat untuk memeriksakan mata. Singkat cerita Dokter di Puskesmas itu memberi rujukan kepada orangtua saya, agar saya segera dibawa ke Makassar untuk memeriksakan mata saya.
Di Makassar saya pun menjalani pengobatan. Makan obat, makan vitamin, bahkan dironsen. Namun semuanya nihil. Bukan hanya nihil. Bahkan Dokter mata menyarankan Ibu saya agar memeriksakan saya ke ahli THT karena menduga ada lendir yang membuat gangguan pada mata saya. Setelah Dari ahli THT ternyata hasilnya negatif. Hal itu semakin membingungkan Ibu saya. Bahkan saya juga pernah hampir dioperasi karena dugaan Dokter mata tadi. Tapi Alhamdulilah Allah masih menyayangi saya dan operasi itu pun tidak jadi dilakukan.
Setelah beberapa hari berobat, nenek saya menyuruh ayah saya mengunjungi saya ke Makassar. Setelah itu kami pun kembali ke Sultra. Karena mata saya yang semakin gelap dan telah memasuki masa pembutaan total hasil dari berobat medis. Sehingga Nenek dan kakek saya membawa dan mencarikan untuk saya pengobatan tradisional ke mana-mana. Hingga suatu saat mungkin saya telah berada pada titik jenuh, sehingga saya sudah agak enggan berobat lagi. Pada waktu-waktu itu saya hanya mengisi hari-hari saya dengan makan, bermain, dan membantu pekerjaan rumah sebisa saya dalam kurun waktu 5 tahun. Melihat saya dan segala keterbatasan ini, Ibu hendak menyekolahkan saya di sebuah SLB yang ada di Makassar. Tapi nenek yang mungkin masih sangat terpengaruh adat dan mitos kedaerahan tidak mau jika saya disekolahkan. Bahkan Nenek pernah bilang, Jika Tuhan mengizinkanmu untuk menuntut ilmu, maka Tuhan akan membuatmu melihat kembali.
Namun melihat teman-teman sebaya saya yang semakin tinggi pendidikannya, saya pun berkeras untuk bersekolah di SLB. Meskipun harus dibarter dengan adik saya yang paling bungsu. Hari itu Ibu menjemput saya di Sultra untuk menyekolahkan saya. Sebagai gantinya Adik saya pun yang diasuh lagi sama nenek.
Di SLB saya memulai lagi pendidikan dari awal, yaitu kelas 1 SD meskipun usia saya sebenarnya sudah usia SMP. Di SLB saya diajar baca tulis Braille. Huruf yang dapat diraba karena permukaannya yang timbul. Selain itu, saya juga diajar mata pelajaran Penjaskes, dan itulah salah satu pelajaran kegemaran saya di SLB. Selain bersekolah di SLB, saya juga tinggal di asrama Tunanetra. Jadi saya berasrama sambil bersekolah di SLB. Karena memang asrama adalah unit Yayasan yang juga menaungi SLB selain asrama.
Setelah menamatkan pendidikan dasar saya di SLB, ada teman yang memotivasi saya untuk bersekolah di sekolah umum tingkat SMP. Pada awalnya saya ragu, namun ada lagi teman yang lain yang semakin menguatkan tekad saya itu.
Satu hari di bulan Juli 2011 saya dibawa oleh kepala Panti saya untuk mendaftar ke sekolah umum tersebut. Namun petugas sekolah yang menerima siswa baru itu tidak langsung memberi formulir kepada saya dengan alasan katanya di sekolah ini belum pernah menerima tunanetra sebelumnya. Lanjut petugas sekolah itu menyuruh kami datang lagi beberapa hari ke depan karena masalah ini akan dirapatkan dengan pihak sekolah yang lain. Namun setelah beberapa hari kami kembali datang ke sekolah itu, petugas sekolah yang awalnya yang kami temui tak ada di sekolah. Sehingga kami harus mencari alamat rumahnya. Namun setelah menemukan rumahnya, kepala panti saya kembali menanyakan tentang pendaftaran saya. Namun si petugas itu bersikap acuh dan memberikan informasi yang tidak jelas.
Menerima perlakuan diskriminasi itu saya pun menceritakannya kepada teman-teman Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI). Mendengar keluhan saya itu teman-teman organisasi mencoba melakukan pendekatan ke pihak sekolah. Akhirnya Kepala sekolah itupun ditemui dan beliau merespon baik, namun beliau meminta data dari dinas pendidikan tentang sekolah tersebut, apakah terdaftar sebagai inklusi atau tidak. Setelah menerima data dinas pendidikan tersebut saya pun diterima di sekolah tersebut. Akhirnya saya pun mampu menunjukkan prestasi saya dan berhasil mendapatkan rangking 3 umum di sekolah tersebut. Meskipun saya harus menghadapi beribu tantangan dan menghadapi guru-guru yang kadang tidak dapat memahami kedaan saya yang tunanetra ini. Namun semua itu harus saya lewati. Karena hidup akan selalu indah apabila kita menyikapinya dengan hati yang teguh. Karena keterbatasan tak membatasi kita untuk dikatakan pantas.
(A. Zulfajrin, siswa SLB Pertuni Makassar)