Penulis di atas terumbu karang yang tidak sehat lagi
Blup. Blup. Blup! Perlahan Abdi Wunanto Hasan menekan deflator, bersama tabung Scuba di punggungnya dia turun ke kedalaman 7 meter.
Laut sedang tenang, pulau Lanjukang terlihat indah dari permukaan air. Saya mengamati di permukaan, snorkeling. Dalam waktu 30 menit Abdi naik ke sekoci ditemani Aidil Syam dan Saldi Nidal Ali, mereka penyelam.
“Saya mendengar tiga kali ledakan dalam air tadi.” Kata Abdi, mahasiswa pemegang lisensi 2 Star CMAS lirih. Di perairan sisi barat Pulau Lanjukang itu, dalam bulan Ramadhan, terdengar ledakan. Di radius itu pasti sedang terjadi pemboman ikan. Saat itu, sebelum dan mungkin sesudahnya.
***
Saldi dan Abdi saat bersiap menyelam di Pulau Kodingareng Keke
Tahu kalau Makassar punya 11 pulau? Jika iya, pulau mana saja dan berapa yang telah dikunjungi? Satu, dua, tiga?
Ketika saya tanya beberapa warga Makassar yang saya kenal, mereka mengaku hanya pernah menjejak kaki maksimal 3 pulau, seperti Pulau Lae-Lae, Samalona dan Barrang Lompo. Yang lain belum. Delapan lainnya belum pernah sama sekali. Lae-lae dekat, Samalona destinasi wisata domestik, Barrang Lompo karena ada Marine Station Unhas di sana.
Pulau-pulau lain yang jarang dikunjungi itu adalah Lae-Lae Kecil (kerap disebut Pulau Kayangan), Barrang Caddi, Kodingareng Lompo, Kodingareng Keke, Bonetambung, Lumu-lumu, Langkai dan Lanjukang. Kayangan adalah pulau terdekat sedang terjauh adalah Lanjukang.
Jika pameo, “tak kenal maka tak sayang”, dikaitkan dengan pulau-pulau tersebut maka sebagian besar kita pasti santai saja ketika tahu bahwa di pulau-pulau tersebut telah terjadi pemusnahan masa depan, penghancuran terumbu karang. Di sekitar Pulau Lanjukang yang merupakan pulau milik Pemkot Makassar pengawasan aparat penegak hukum nampaknya sangat lemah. Pemboman ikan masih marak.
***
Terumbu karang adalah salah satu ekosistem laut yang dicirikan oleh adanya hewan karang (Scleractinian). Hewan karang ini adalah alga yang berfotosintesa, menghadirkan warna sesuai asosiasinya. Warna yang indah.
Penulis sepulang dari menyelam di perairan Makassar.
Ada yang membentuk himpunan (koloni) ada pula yang soliter atau terpisah satu sama lain. Dari terumbu karang bermainlah ikan-ikan karang seperti kerapu, kakap, lobster, ikan ekor kuning, ikan hias, murai dan kerang eksotik seperti kima dan penyu. Asosiasinya merupakan fenomena yang luar biasa.
“Rataan terumbu karang Makassar dapat dijumpai mulai dari Pulau Lae-Lae, pada sisi selatan meski tak padat, banyak yang soliter.” Kata Abdi lagi. Menurut Abdi, sedimentasi yang hebat di sepanjang muara sungai Jeneberang telah mengganggu kehidupan karang di sekitar Lae-Lae.
Bergerak ke barat, terumbu karang juga dijumpai di Samalona, hingga Lanjukang. Sayangnya, kondisinya sangat memiriskan karena eksploitasi menggunakan alat tangkap merusak.
Suasana laut Pulau Lanjukang
Tragedi lingkungan terjadi di pulau-pulau milik Makassar. Tekanan ekonomi yang dialami warga pesisir dan pulau sejak 2 dekade terakhir telah berdampak pada tergerusnya ekosistem terumbu karang hingga 70%. Jika kondisi ini terus terjadi 15-20 tahun ke depan, anak-anak kita tak bisa lagi melihat kerang raksasa, anemon, karang meja, ikan giru hingga lobster.
Rumah ikan bernama terumbu karang itu dihancurkan dengan bom. Nelayan yang berdiam di pesisir dan pulau tahu dan menyadari risiko penggunaan bom ikan tetapi apa mau dikata, tuntutan ekonomi warga lokal dan pendatang serta godaan pemilik modal membuat mereka kepalang basah. Meski nyawa taruhannya. Penggunaan bom ikan rentan mengakibatkan kematian nelayan.
Situasi ini semakin memburuk lantaran tiadanya kesungguhan aparat penegak hukum untuk memberantas peredaran pupuk, (Malaysian Fertilizer) bahan bom ikan tersebut. Bahan bom ikan ini datang dari Malaysia dan awalnya tidak untuk bom ikan tetapi pupuk untuk tanaman. Setelah dicampur dengan minyak tanah dan dikeringkan, maka jadilah ia bom yang mengerikan.
Bukan hanya bom, praktik penggunaan bius dan pengambilan batu karang menjadi ancaman serius bagi ekosistem laut. Akibatnya abrasi pantai merusak formasi pulau. Air laut semakin jauh masuk ke rongga pulau. Singkat kata maraknya aktivitas merusak itu telah mengancam masa depan warga pulau, masa depan kota Makassar dan kita semua.
Sebelumnya pada tahun 2012, Prof Jamaluddin Jompa Guru Besar Ekologi Kelautan Unhas mengatakan bahwa secara umum, terumbu karang kita yang telah mengalami kerusakan saat ini telah mencapai 65 persen dari total 75.000 km2 termasuk di Perairan Spermonde/Makassar.
LIPI, beberapa tahun setelahnya mempertegas bahwa kondisi terumbu karang Spermonde ada di kisaran 15%-30% baik hingga sangat baik, 30%-70% rusak hingga rusak parah. Jika kejadian pemboman ikan terus berlangsung maka, salah satu ekosistem penting dunia itu akan hilang dalam beberapa tahun ke depan.
Mengapa Langgeng?
Langgeng karena tidak tegaknya aturan perlindungan pesisir dan laut. Lemahnya kesadaran warga mempertahankan asset masa depan mereka. Mudah tergiur godaan ekonomi, pada pencari ikan karang, untuk restoran, untuk pesta, untuk ekspor.
Pemboman ikan membuyarkan angan-angan Pemerintah Kota, termasuk kita semua dalam mengelola pariwisata bahari. Jika terumbu karang rusak, siapa yang mau menyelam, snorkeling? Jika bom kerap terdengar, siapa yang mau berjemur dan menenangkan diri di pulau seperti Samalona, Kodingareng Keke?
Penegakan hukum harus diupayakan. Tanpa penegakan hukum agenda pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau hanya ilusi. Kebijakan pengelolaan terumbu karang nasional sebenarnya telah menempatkan salah satu ekosistem penting di dunia ini sebagai obyek konservasi.
Pelanggaran atasnya, seperti mengambil, merusak dapat dikenakan sanksi hukum. Hal ini disebutkan dalam UU Konservasi tahun 1990 dan UU Darurat tentang penggunaan bom untuk ikan.
Pemerintah Kota Makassar pun harus diingatkan bahwa pembangunan melulu pada pertumbuhan ekonomi belaka bukan pilihan tepat. Jika membaca dimensi pemanfaatan hasil laut dengan menggunakan bom ikan tersebut nampak sekali bahwa maksimalisasi produk/hasil laut merupakan pilihan utama ketimbang konservasi (pelestarian).
Selain berharap ke situ, warga setempat pun harus dimotivasi untuk peduli dengan lautnya, mengelolanya dengan bijaksana dan sedapat mungkin mengelolanya dengan ‘caranya sendiri’. Minimal, memberi kesempatan kepada ikan-ikan untuk tumbuh dan mengisi terumbu-terumbu itu.
Untuk kota semodern Makassar, perhatian ke warga dan lingkungan laut pulau-pulau itu harusnya sebanding dengan pemenuhan hal sosial warga Kota. Konsentrasi pembangunan pada pusat kota melalui pendidikan, kesehatan serta infrastruktur harusnya sebangun pula untuk pembangunan ekologi kepulauan.
Toh, Makassar punya 11 pulau, dan itu harus dikelola dengan bijak. Ironi membiarkan kerusakan terumbu karang terus saja terjadi sebab itu sama saja membiarkan rumah masa depan ikan dan rumah masa depan generasi musnah.
Akan ke mana puluhan ribu warga pulau-pulau Makassar jika aset masa depan mereka dirampas demi kepentingan ekonomi jangka pendek semata?