Sebelumnya saya mesti minta maaf, sebab cerita saya lebih banyak di sisi dunia yang orang sebut ‘hitam’. Sejak saya mengenal Lapangan Karebosi, saya lebih akrab dengan hal yang berkaitan dengan dunia itu. Mungkin berbeda dengan yang mengenal Karebosi sebagai tempat berolahraga atau menjadikan tempat tamasya murah meriah. Saya anak yang dibesarkan di lorong-lorong kampung yang mengenal lebih dulu rokok dan ballo sebelum mengenal baca tulis.
Saya pertama kali melihat Karebosi waktu diajak ibu saya ke Pasar Sentral untuk membeli baju lebaran. Dahulu tempat tujuan utama berbelanja kebutuhan pakaian jelang lebaran hanya di pasar itulah yang terlihat elit. Sekarang pilihannya lebih banyak dengan menjamurnya mall tentunya.
Menginjakkan kaki dan beraktivitas pertama kali di Karebosi ketika sekolah di SMP Muhammadiyah 1 1994, yang terletak di Maccini Sawah. Setiap belajar Pendidikan Jasmani (olahraga), kami harus praktik ke Lapangan Karebosi. Berbagi pakai dengan sekolah lain yang bernasib sama tak punya lapangan yang memadai untuk kegiatan olahraga di sekolahnya.
Nyaris satu tahun pelajaran kami kerap di sana—main sepak bola, takraw, dan praktik cabang olahraga lain, selain renang tentunya. Tetapi guru dan beberapa senior sudah mengingatkan untuk tidak terlalu jauh dari kelompok berkeliaran, sebab banyak pemalak di sana. Saya sih tak pernah mengalami nasib sial dipalak. Tetapi sempat beberapa teman yang biasanya datang sendiri-sendiri yang kena sial. Makanya kami selalu diingatkan untuk berangkat sama-sama dari sekolah untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan.
Sekolahku berhenti menjadikan Karebosi sebagai tempat olahraga setelah terjadi kasus berdarah yang menimpa teman sekolah dari kelas lain. Jagoan sekolahku kena pukul oleh seorang teman yang terkenal pendiam dan lugu setelah bosan dipalak oleh teman sekolah sendiri. Ia yang sudah tidak tahan lalu mencuri pemukul lonceng yang terbuat dari besi baja itu, sebelum dipalak ia langsung menghantam kepala si jagoan itu dengan keras. Tentu saja si jagoan itu langsung rubuh bersimbah darah dan langsung dilarikan di rumah sakit. Lucunya setelah kejadian itu, sekolah menganggap kejadian itu sebagai alasan untuk segera mengganti lokasi ke lapangan yang ada di Perumahan Dosen Unhas di Jalan Sunu. Di sana mungkin lebih dekat tapi seringkali malah bentrok dengan anak SMPN 4 di Rappokalling.
Kedekatan intensku dengan Karebosi untuk kedua kali ketika naik Kelas II SMA. Saya pindah ke SMU Pratama Karya setelah sebelumnya sekolah di STM Pemuda di Jalan Mapala samping kampus UNM Gunung Sari. Untuk melacak sekolah itu sekarang, yang ironis adalah karena dua mantan sekolahku itu sudah tidak ada. SMU Pratama sendiri adalah sekolah swasta yang termasuk tertua di Makassar, yang dinaungi oleh Yayasan Pendidikan Partai Golkar. Anehnya, sekolah ini dulu menumpang ke Sekolah Dasar Sudirman yang sekarang berada di samping Menara Bosowa, Jalan Sudirman. Walau menumpang, yayasan pendidikan ini mengelola juga sekolah menengah pertamanya. Ruang kantor dan gurunya meminjam ruang kelas 2 SD Sudirman. Murid-muridnya kebanyakan pindahan atau ‘buangan’ dari sekolah top. Bahkan saya berteman dengan pindahan dari SMA Budi Utomo Jakarta.
Nah bila sekitar tahun 1990-an Anda sering melihat di Karebosi anak sekolahan berseragam putih abu-abu dengan gaya yang seenaknya bahkan berambut gondrong hanya ada dua kemungkinan asal sekolahnya; kalau bukan anak STM PGRI di Kanal Landak, berarti itu anak SMA Pratama Karya. Tetapi kami hanya beredar di Karebosi sejak siang hari hingga magrib. Paling sering mangkal di gerobak milik penjual es gerobak bernama Daeng Tawang, atau di depan halte Damri Karebosi di depan Bank Indonesia, tempat saya sering melihat mobil kontainer masuk membawa uang—hal yang saya ketahui dari polisi yang sering menjaga pintu gerbang bank itu.
Sejak sekolah di SMA Pratama inilah saya mengenal sisi ‘hitam’ Karebosi. Di sinilah beberapa sisinya menjadi semacam wilayah kekuasaan dari kelompok preman, atau anak sekolahan seperti dari STM Kartika, STM PGRI Landak, preman Pasar Terong, preman sekitar Jalan Veteran, pencopet hingga penipu dan preman dari kawasan sekitar Jalan Cendrawasih. Inilah wilayah yang bahkan tak berani disentuh preman dari Pasar Sentral.
Peta ‘dunia hitam’ yang sudah saya cerita tadi begini: di daerah yang dulu jadi balkon (sekarang jadi Karebosi Link) yang tempat pemain-pemain catur hingga penjual obat berkumpul, preman terong (juga dari Pasar Karuwisi) serta anak STM Kartika ‘beredar’ itu sejak masih jam 9 pagi. Tapi anak STM ini biasanya bergeser hingga ke pintu masuk Karebosi di Jalan Kajolalido. Targetnya jelas anak SMA Athirah dan anak SMA lain.
Nah, di sisi lainnya, yakni di sekitar halte Damri Gedung BI hingga ke Monumen Mandala banyak diisi sindikat pencopet. Mereka sering berada di halte atau di belakang halte. Yang sering mencopet dari belakang halte mengincar mangsa yang sedang duduk di halte tanpa sadar. Mereka bekerja sindikat, menunggu orang-orang yang turun dari pete-pete. Salah seorang akan memberi kode pada temannya tentang calon korban. Yang satu akan mengikuti mangsa, sedang lainnya menunggu sambil mengawasi apakah temannya sedang bergerak mengikuti korban. Orang inilah yang akan berjalan melawan arah dengan sengaja menabrakkan diri. Bisa juga yang mengikuti itu berjalan lalu diam-diam menyilet tas korban atau saku celana korban. Mereka bertampang klimis bahkan cenderung lebih rapi hingga orang-orang tidak akan curiga.
Kelompok sekolah saya baru beredar di sekitar tempat pencopot pada siang hari. Sisi lainnya, yakni depan Bank Mandiri dan Rumah Sakit Bersalin Sitti Khadijah, merupakan tempat berkumpul pemain-pemain bola kelas tarkam setiap sore, yang juga biasanya adalah suporter PSM Makassar. Ada juga kelas bola yang dilakukan secara mandiri beberapa orang saat sore hari. Karenanya, bila sore, Karebosi begitu ramai. Nyaris semua klub-klub bola menjadikan Karebosi sebagai tempat latihan atau uji coba atau bahkan pertandingan. Tentu pula ditambah dengan orang yang jogging dan bersepeda santai.
Kami lebih sering bergaul di di sekitar halte dan depan sekolah kami sendiri. Kami jarang sekali ke tempat orang bermain catur dan nonton tukang obat itu. Alasannya kami bosan. Kami juga tidak mau bentrok dengan ‘pemilik’ wilayah di sana dan yang paling pasti kami cukup tahu, penjual obat ini kadang juga bagian dari sindikat pencopet dan penipu. Mereka, para penjual obat itu, terdiri dari (bisa sampai) 50 orang yang bergantian menggelar pertunjukan. Yang lain berpura-pura jadi penonton, sebagai taktik membuat keramaian agar orang-orang juga ikut berkumpul. Beberapa lainnya akan menjadi ‘tukang kompor’ penonton agar ikut taruhan berhadiah dari sulap-sulap tukang obat atau mau membeli obat yang dijual itu. Bahkan di antara mereka ada juga yang bertugas ‘menyisir’ dompet-dompet penonton.
Kami hanya berkumpul di dekat es gerobak Daeng Tawang hingga magrib. Orang yang lalu lalang, naik turun pete-pete dan bus Damri lebih menarik bagi kami ketimbang harus masuk ke ruang kelas. Tentunya juga kawasan itu merupakan tempat strategis mejeng lantaran di sekitar situ ada beberapa SMA seperti SMA Athirah, SMA 16, dan SMA Ammanagappa. Belum lagi banyaknya jurusan angkot yang lewat di situ.
Selepas magrib, sisi yang pada sore diisi para pendukung PSM mulai berganti penghuni, yakni banci. Mereka beroperasi nyaris di semua sisi Lapangan Karebosi, terutama berpusat di depan RSB Sitti Khadijah. Di sisi itu pula Diza Alie membuat Makassar Football School. Sering saya melihat mereka ‘praktik’ di belakang bunga yang rimbun atau dalam tempat berkedok warung kaki lima. Kami jarang mengurusi mereka, sebab para banci ini ganas dan mereka punya pengawal yang berbahaya juga. Para banci itu malah sering membawa badik. Kalau ada yang macam-macam, ‘kelaki-lakian’-nya bakal muncul.
Terakhir, kenangan yang tersisa dari Karebosi adalah ikatan dengan teman-teman sekolah yang tidak sampai 50 orang satu sekolah. Juga beberapa tawuran dengan anak sekolah lain, bahkan saya nyaris dikeroyok anak SMA 6 yang datang balas dendam karena teman mereka dipalak dan dipukul. Dari 50 anak SMA Pratama yang lebih banyak diisi oleh orang-orang yang tiinggal di Kepulauan Spermonde, yang diberi kemudahaan dengan hadir saat ujian saja. Saya pernah mengecek, rupanya hanya tiga orang saja yang lanjut ke perguruan tinggi. Seorangnya, setahu saya, pernah jadi bandar narkoba di Sungguminasa. Yang satu lagi, seorang perempuan yang paling jago di sekolah mata pelajaran Fisika dan Matematika. Belakangan saya tahu bahwa ia menjadi perempuan panggilan di hotel-hotel di Makassar. Namun ia menjadi tapi penyokong materi (penyedia kertas-kertas ketika saya mulai serius menulis puisi dan cerpen, dengan imbalan ia meminta saya menulis puisi tentang kehidupannya).
Yang ketiga, saya sendiri. Saat ikut ujian masuk PTN, salah seorang anak SMA Athirah yang mengenal saya datang menghampiri, “Ih, ikut ki’ juga ujian di’?” tanyanya dengan senyum seringai. Saya tahu maksud dari keheranannya itu. Saya nyegir saja ketika itu. Belakangan, kepala sekolah saya pun sempat tertawa waktu saya datang ke sekolah untuk meminta surat keterangan. Begitu dia tahu saya mau mendaftar kuliah, Beliau terbahak-bahak lalu memberi saya surat keterangan dan ijazah saya tanpa bayar.
Tahu tidak kenapa saya mendadak ingin menjadi mahasiswa? Karena di Karebosilah, saya pernah melihat pawai dan demonstrasi akbar digelar!
Irwan. AR – @b12utus
menarik..
membaca “kisah” ini seperti membawa saya menjejak di salh satu sudut alun2 kota makassar ini. duduk, terpaku dan diam dalam seragam putih abu2.
Inimi kapang yg lawanku tawuran….hahahaha
Banyak hal baru saya tahu, termasuk ihwal SMA Pratama dan sekolahnya saat ujian saja. Terima kasih bos
boleh jadi hehehe
Speechless!
Tahun 86-87 ada bbrapa teman dr sma pratama karya, rata rata anak dekat rumah di pasar terong. Nasibnya macam-macam, tapi mmg rata-rata suram. Sukurlah ada juga yg berhasil menuju jenjang pendidikan lebih tinggi.
Sip!
saya sukaaa sekali dengan tulisan ini. terima kasih @b12utus!
Wah ulasanta mantab qaqa… kerenG
cara ta’ mengakhiri tulisan keren! ^^
eh, keren juga ceritanya tawwa… ^^