Peta Kota Makassar
Setelah minggu lalu membahas awal terbentuknya kota Makassar sejak jaman kerajaan Gowa-Tallo, kali ini kami akan bercerita tentang sejarah kota Makassar saat jatuh ke tangan kompeni Belanda.
Di akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17, Makassar telah menjadi pusat perniagaan beberapa negara Eropa dan Cina. Pada masa pemerintahan Tunipalangga Ulaweng Raja Gowa ke X (1546-1565), pedagang Portugis telah meningkatkan hubungan dagang dengan Makassar dan mendirikan perwakilan dagangnya. Bahkan bangsa Portugis telah menetap di Makassar sejak tahun 1532. Jika sebelumnya di Makassar hanya ada perwakilan dagang Portugis, selanjutnya terdapat perwakilan dagang Inggris tahun 1613, Spanyol tahun 1615, Denmark tahun 1618 dan Cina tahun 1619 (Reid, 2004; 156).
Pesatnya kemajuan Kerajaan Makassar yang melakukan perdagangan rempah-rempah dengan pedagang Inggris dan pedagang Portugis, menimbulkan kebencian bagi Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Perusahaan dagang Belanda itu, ingin menguasai perdagangan di Makassar dan tidak menginginkan pedagang dari negara lain berada di Makassar (Poelinggomang, 2002).
Namun, keinginan ini mendapat perlawanan keras dari Raja Gowa ke XIV Sultan Alauddin (1593-1639). Sebagai langkah antisipatif pertahanan, Sultan Alauddin membangun Benteng Panakkukang, Benteng Garassi, Benteng Galesong dan Benteng Ana Gowa. Pembangunan benteng-benteng tersebut untuk memperkuat benteng pertahanan kota dan kerajaan Makassar yang telah dibangun sebelumnya oleh Raja Gowa ke IX dan X seperti Benteng Somba Opu, Benteng Kale Gowa, Benteng Tallo, Benteng Sanrobone, Benteng Ujung Pandang, Benteng Barombong dan Benteng Ujung Tanah. Disusul pembangunan Benteng Mariso, Benteng Bontorannu dan Benteng Bayoa yang dibangun oleh Raja Gowa ke XVI, Sultan Hasanuddin (1653-1669) (Iqbal, 2004).
Pada tanggal 21 Desember 1666 Cornelis Janszoon Speelman menyatakan perang terhadap Kerajaan Gowa. Perang berlangsung hingga tanggal 18 Nopember 1667, dengan menyerahnya Kerajaan Gowa kepada Belanda. Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa waktu itu dipaksa melakukan perjanjian dengan pihak Belanda yang disebut Perjanjian Bungaya. Salah satu butir perjanjian adalah menghancurkan seluruh benteng pertahanan Kerajaan Gowa kecuali Benteng Ujung Pandang dan menyerahkan benteng tersebut berikut perkampungan dan lingkungannya kepada VOC (Andaya, 2004). Setelah perang ini, hegemoni Makassar dalam dunia perdagangan maritim akhirnya menurun drastis karena pusat pelabuhan dikuasai oleh VOC (Reid, 1999: 370).
Speelman, sebagai penguasa Makassar yang baru, memilih wilayah Benteng Ujung Pandang dan daerah sekitarnya sebagai pusat pemukiman baru. Pemilihan didasarkan pada keadaan alam, letak yang strategis, dan sangat cocok untuk dijadikan pelabuhan dibanding benteng-benteng lainnya. Benteng ini diubah namanya menjadi “Rotterdam”, yang mengacu pada tempat kelahiran Speelman (Poelinggomang, 2002). Benteng Rotterdam kemudian digunakan sebagai markas tentara dan kantor perwakilan VOC di wilayah nusantara bagian timur. Speelman menata Makassar menjadi empat elemen. Pertama, pusat pemerintahan yang berada di Benteng Rotterdam. Di dalam benteng terdiri dari tembok-tembok batu yang besar, dengan pembagian ruang, blok-blok dan pintu gerbang. Sekitar benteng menjadi lingkungan pemukiman orang Belanda yang eksklusif.
Pejabat, pegawai pemerintah dan tentara VOC umumnya bermukim dalam benteng dan wilayah sekitarnya. Kedua, tumbuh dan berkembang pemukiman di sebelah timur laut Benteng Rotterdam. Lokasi ini disebut “perkampungan pedagang dengan perumahan bagi orang-orang asing dan pendatang” atau dikenal dengan Negory Vlaardingen. Penghuni kawasan ini adalah pedagang yang berasal dari Eropa, orang Tionghoa dan penduduk asli yang beragama Kristen. Ketiga, yang ikut membentuk struktur dan tata ruang permukiman dalam pusat wilayah Kota Makassar adalah Kampong[1] Melayu yaitu kampung yang terdapat di sebelah utara Vlaardingen.
Nama Kampong Melayu melekat dari suku asal penghuninya yaitu orang-orang Melayu.[2] Keempat, yakni Kampong Beru atau Kampung Baru, terletak di bagian selatan Benteng Rotterdam, berada di dekat pantai. Di daerah ini berdiam orang-orang dari Asia serta para bekas budak beragama Kristen yang bekerja sama dengan Belanda. Mereka ini dikenal dengan istilah Mardijkers[3] (Sumalyo, 1999; 303-306).
Makassar sejak dulu telah didiami oleh berbagai suku bangsa. Para penghuni Kota Makassar khususnya bangsa Belanda menyesuaikan diri dengan iklim, alam sekeliling, demi kekuasaan, dan tuntutan hidup sesuai dengan daerah tropis. Bangsa Belanda mendirikan rumah tempat tinggal serta kelengkapannya yang disesuaikan dengan keadaan dan mengambil unsur budaya setempat (Soekiman, 2000; 2). Penataan Kota Makassar yang dilakukan oleh Speelman tersebut, kemudian berkembang seiring dengan berjalannya waktu hingga Kota Makassar menjadi kota metropolitan seperti sekarang.
Jelas bahwa keberadaan sebuah kota tidak lepas dari sejarah awal perkembangannya dan segala proses yang dilaluinya. Menurut Mumford (1967), perkembangan kota sangat berkaitan dengan fungsi waktu, hal ini mengingatkan kita bahwa kota sekarang pembentukannya didasarkan pada masa lalu. Jadi aspek hitoris memegang peran yang sangat penting dalam membentuk morfologi kota (Mumford, 1967; Wikantiyoso, 2001). Selain aspek historis, terdapat pula aspek fisik, aspek perencanaan kota, dan aspek sosial budaya yang juga turut membentuk wajah kota. Demikian pula halnya dengan Kota Makassar yang pada masa penjajahan dibentuk oleh bangsa Belanda.
DAFTAR PUSTAKA
Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka. Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17. Makassar: Inninnawa.
Cortesao, Armãndo. 1944. The Suma Oriental of Tome Pires. An Account of The East, from The Red Sea to Japan, Written in Malacca and India in 1512-1515. Kraus Reprint Limited. Nendeln/Liechtenstein.
Iqbal, Muhammad. 2004. Peranan dan Faktor yang Berpengaruh Terhadap Penempatan Benteng-Benteng Kerajaan Gowa Tallo. Dalam Iwan Sumantri (ed). Kepingan Mozaik Sejarah Budaya Sulawesi Selatan. Bagian Proyek Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatanm, bekerja sama dengan Penerbit Ininnawa.
Nayati, Widya. 2005. Social Dynamics and Local Trading Pattern in The Bantaeng Region, South Sulawesi (Indonesia) Circa 17th Century. A Thesis Submitted For The Degree of Doctor of Philosophy. National University of Singapore.
Poelinggomang, Edward L. 2002. Makassar Abad XIX. Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Reid, Anthony. 1999. Dari Ekspansi Hingga Krisis : Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680. Jilid II. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
——————–. 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
Slametmulyana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Soekiman, Djoko. 2000. Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII – Medio Abad XX). Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Sumalyo, Yulianto. 1999. Ujung Pandang Perkembangan Kota dan Arsitektur Pada Akhir Abad 17 Hingga Awal Abad 20. Dalam Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard, Ecole Francaise d’extreme-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wikantiyoso, Respati. 2001. Panduan Rancang Kota Sebagai Pengendali Pembangunan Kota. Jurnal Jurusan Arsitektur Universitas Merdeka Malang.
( @Nandarkeo ; pemerhati sejarah )
[1] Dalam dialek Bugis-Makassar, kata ‘kampung’ dilafalkan ‘kampong’
[2] Di awal kekuasaan Belanda, orang Melayu diajak untuk tinggal di dalam kota. Hal ini dilakukan mengingat orang Melayu mahir dalam berdagang. Namun karena merasa terganggu oleh orang-orang Bugis, mereka meminta kepada Belanda untuk dipindahkan. Permintaan ini dikabulkan dan mereka diberi tempat di daerah Hutan Bulakeng yang kemudian disebut Kampong Melayu. Pemerintah Belanda kemudian memerintahkan agar mereka menunjuk seorang pemimpin yang diberi gelar seperti Letnan, Kapiten dan Mayor sedang orang Makassar menyebutnya dengan Kapiten Melayu. Mattulada, 1991, “Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah”. Makassar: Hasanuddin University Press.
[3] Istilah ini kemudian disesuaikan dengan ucapan penduduk Kota Makassar, sehingga disebut Maradekayya. Kini menjadi salah satu kelurahan di Kota Makassar.