Rencana atau Bencana Tata Ruang Kota?

Cara pandang tentang tata ruang Kota Makassar perlu diperbaharui. Lewat tulisan ini, seorang peneliti menyerukan pentingnya sosialisasi tata ruang ke warga kota menggunakan cara pandang pengurangan risiko bencana (PRB).

Salah satu sudut Kota Makassar. [foto: Sofyan Syamsul]

Akhir November lalu, sejumlah warga mulai mengeruk selokan sekitar satu permukiman di Makassar. Tidak lama lagi, rumah-rumah warga kembali tergenang, terutama Desember-Februari. Salah satu koran nasional tahun lalu memberitakan sejumlah wilayah terendam air, di antaranya Perumahan Bung, Bumi Permata Sudiang, Mamoa Raya, Minasa Upa, Mapala, dan Racing Centre bagian utara digenangi air setinggi lutut orang dewasa. Tidak hanya itu, hal serupa terjadi di Jalan Monginsidi Baru, Jalan Sungai Saddang Baru, Pelita Raya, Boulevard, dan Perumahan Toddopuli. Bahkan, jalan raya utama yang menjadi pusat kesibukan dan percabangan lalu lintas di Makassar, seperti Jalan AP Pettarani , macet padat akibat genangan air di beberapa titik di depan Mall Ramayana, Kantor Regional Bulog, sudah menjadi areal langganan banjir penyebab kemacetan itu.

Hal ini diakibatkan drainase yang meluap saat hujan ditambah dengan sampah yang menyumbat. Dari ratusan drainase yang perlu direhabilitasi, pemerintah hanya mampu menuntaskan rehabilitasi sebanyak 59 titik yang tersebar di 14 kecamatan hingga tahun 2012.

Pada tanggal 1 Desember, salah satu koran online memberitakan bahwa dalam APBD Pokok 2012, Pemkot mendapat anggaran sebesar Rp 4,2 miliar untuk rehabilitasi drainase di 33 titik. Sedangkan, 20 titik sudah disetujui oleh DPRD Makassar dengan anggaran sebesar Rp 2 miliar dari APBD Perubahan 2012 dengan batas waktu perbaikan hingga Desember 2012. Anggota Komisi C DPRD Makassar, Zaenal Daeng Beta mengatakan bahwa terjadinya banjir lebih diakibatkan oleh drainase yang kurang bagus. Pemerintah terkesan tidak serius menanggulangi bencana banjir. Sebab, tiap tahun pembangunan drainase dianggarkan tapi banjir tetap saja mengancam.

Bencana seperti banjir, dapat terjadi ketika masyarakat yang mendapat ancaman be­rada dalam kondisi rentan dan memiliki kapasitas yang rendah, yang menyebabkan satu ancaman bisa mem­bawa korban, baik nyawa maupun harta benda. Sebaliknya, bila masyarakat kuat dan berkemampuan yang tinggi, maka risiko dapat dihindari.

Tindakan penanggulangan bencana belum berjalan efektif. Penyebab utama yang segera dapat diidentifikasi adalah pemahaman tentang bencana yang masih terbatas pada ‘bencana alam’ serta ‘tindakan tanggap-darurat’ (saat bencana terjadi) serta rehabilitasi dan rekonstruksi (setelah bencana terjadi). Tidak masyarakat awam saja yang penting memahaminya, namun juga para aparat pemda umumnya. Dengan demikian penanggulangan bencana tidak hanya dilakukan pada saat terjadi bencana (kegiatan tanggap-darurat), tetapi masa sebelum bencana (kegiatan pencegahan) dan sesudahnya (kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi).

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa bencana itu sendiri bukan hanya ‘bencana alam’, semacam gunung meletus, banjir, gempa, tsunami, dan angin puting beliung. Namun juga ‘bencana non alam’ atau bencana buatan manusia, seperti konflik sosial, kegagalan teknologi, dan kegagalan kebijakan. Belum ada tindakan mitigasi dan pencegahan yang berarti pada jenis-jenis bencana non alam tersebut. Tindakan yang dilakukan masih serupa dengan tindakan menghadapi bencana alam yang selama ini sifatnya jangka pendek dan hanya pada tindakan tanggap darurat.

Salah satu bencana non alam adalah kegagalan kebijakan, seperti  PERDA Rencana Tata Ruang Wilayah. Dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang mengatur peran serta masyarakat dalam berpartisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang. Namun dalam kenyataannya subtansi dari pasal tersebut belum terealisasikan.

Kegagalan rancangan PERDA Tata Ruang yang tidak melibatkan masyarakat bisa dicontohkan di Kabupaten Maluku Tenggara (Malteng) yang terbengkalai sejak tahun 2008. Bahkan, Malteng telah mendatangkan konsultan dari Universitas Indonesia untuk menyusun naskah akademik sekaligus rancangan awalnya. Namun, semuanya ditolak oleh DPRD, karena banyak yang bertentangan dengan hukum adat lokal mengenai kepemilikan, pembagian, dan peruntukan kawasan. Karena dianggap memahami hukum-hukum adat lokal, konsultannya dialihkan ke Universitas Pattimura di Ambon. Ternyata, naskah dan rancangnnya juga ditolak oleh DPRD. Proses tersebut telah menghabiskan dana sebesar Rp 1 miliar, dan PERDA Tata Ruang Kabupaten Malteng masih saja menggantung pengesahannya.

Dampak tidak dilibatkannya masyarakat dalam penataan ruang terlihat pada pembangunan Pasar Terong—dan beberapa pasar lainnya seperti Makassar Mall dan Pasar Butung, yang saat ini kembali direnovasi. Sejak tahun 1995, gedung Pasar Terong terus terbengkalai. Pedagang sayur, buah, dan rempah enggan mengisi los dan meja di dalam gedung berlantai empat yang telah disediakan oleh pihak pengembang. Salah satu sebab: tidak sesuai budaya belanja dan tata letak para pedagang.

Persepsi pedagang (mental map) tentang ruang yang mereka tinggal dan berkegiatan sehari-hari tidak digunakan dalam merancang bangun pasar. Di lain pihak, pengembang membawa rancangan gambar bangunan sendiri yang jauh dari realitas dan konteks kehidupan  pasar. Marco Kusumawijaya, seorang arsitek yang sempat bertemu pendapat dengan pedagang di pasar, memberi perumpamaan sederhana: jika seseorang ingin dibuatkan baju, yang mau pakai baju harus diukur biar tahu ukuran dan modelnya.

Di satu sisi, Pasal 23 UU No. 24 tahun 2007 juga mensyaratkan agar seluruh penyelenggaraan penanggulangan bencana di setiap daerah mutlak terkonsolidasi dengan RTRW. Dengan demikian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota dapat bertindak sebagai pendamping dalam perencanaan suatu kawasan dengan mempertimbangkan aspek kebencanaan itu sendiri, baik bencana alam, maupun bencana non alam. Misalnya kawasan lahan hijau yang tiba-tiba dibangun SPBU atau perumahan, minimarket yang menempel di salah satu ruko atau bahkan perumahan. Sehingga wajar jika seorang penjual asam yang menjual di luar gedung Pasar Terong mengatakan bahwa minimarket telah menjadi ‘tsunami’ di Makassar.

Pangkal permasalahan sebenarnya diakibatkan oleh PERDA RTRW Kota yang sampai sekarang belum juga disahkan. Sedangkan Undang-Undang yang ada di atasnya, yakni Pasal 60 UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang memberikan jaminan akan hak masyarakat untuk mengakses informasi seluas-luasnya yang berkaitan dengan penataan ruang.

Dalam kenyaataannya, banyak zonasi kawasan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, sehingga tak heran muncul bangunan yang tidak sesuai dengan peruntukan lahan yang berdampak pada berkurangnya ketersediaan lahan terbuka hijau untuk resapan air. Pendirian bangunan itu sendiri tidak mengikuti peraturan tata ruang sehingga trotoar pun semakin sempit, got dan drainase yang banjir ketika hujan.

Dalam proses kebijakan, paradigma Pengurangan Risiko Bencana sebenarnya  memungkinkan untuk membangun sistem pelayanan publik yang menyeluruh, seperti mata pencaharian, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, perumahan, sanitasi, keamanan dan sebagainya yang merupakan hak warga negara.[]

(Siswandi, [email protected], peneliti kebencanaan di Komunitas Ininnawa)

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (181 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


One response on “Rencana atau Bencana Tata Ruang Kota?

  1. wow tulisan yang sangat menginspiratif. Permasalahan tata kota dan hampir semua permasalahan yang terjadi di negara kita ini memang disebabkan community engagement antara pemerintah dan rakyatnya tidak pernah berjalan, hanya sebatas wacana ataupun hanya sebuah UU yang tak pernah di jalankan, bukankah inti demokrasi adalah oleh rakyat untuk rakyat dan dari rakyat?? sehingga sudah sepatutnya masyarakat ikut peran serta dalam pembangunan dan bukan hanya di ikutkan dalam proses pemilihan umum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


+ 8 = sixteen

You may use these HTML tags and attributes: