Pintu Dua dan Hilangnya Ruang Belajar Bersama

Dulu—paling tidak beberapa tahun setelah reformasi 1998—bulan Mei sering disebut sebagai bulan perlawanan oleh teman-teman mahasiswa dan aktivis pro demokrasi. Alasannya sederhana, karena di bulan itu begitu banyak momentum politik yang dirayakan dengan aksi massa di beberapa titik-titik vital pemerintahan. Beberapa hari itu antara lain: 1 Mei hari Buruh Sedunia, 2 Mei Hari Pendidikan Nasional, 12-15 Mei Peristiwa Trisakti 1998, 20-21 Mei Jatuhnya Soeharto dan Hari Kebangkitan Nasional.

Sebagai bulan perlawanan, maka bulan ini juga menjadi bulan sibuk bagi mereka yang merayakannya dengan aksi-aksi massa. Selain mempersiapkan segala perangkat dan kelengkapan aksi, mereka juga harus mempersiapkan panggung-panggung bebas untuk mempropagandakan sekaligus menjelaskan secara detail mengenai tuntutan yang akan diusung dan yang lebih penting adalah menyiapkan dan menggelar diskusi-diskusi pra aksi yang digunakan untuk menggeledah secara ilmiah berbagai hal terkait dengan isu, dan metode aksi. Dan ini—mungkin tak terlalu banyak yang (mau) tahu—kalau persiapan ini dilakukan setiap aksi akan digelar.

Diskusi-diskusi ini tentu tidak digelar di ruang-ruang yang memiliki penyejuk ruangan dan eksklusif. Sebaliknya hampir semua diskusi-diskusi ini digelar secara santai di ruang atau tempat sederhana dan bisa dihadiri oleh siapa saja dan dari spektrum politik mana saja, mulai dari koridor, pelataran, kantin kampus, kamar pondokan mahasiswa hingga permukiman buruh.

Di ruang-ruang ini, berbagai fakta, analisa teoretik yang datang dari nama-nama besar ilmuwan sosial disuguhkan bersamaan dengan kepulan asap rokok, pekatnya kopi hitam, serta ditambah dengan pedasnya sambal gorengan dan disempurnakan dengan gelak tawa di sela-sela diskusi. Di ruang seperti ini (dulu) reproduksi gagasan besar khususnya tentang menjadi Indonesia –meminjam istilah Efek Rumah Kaca—disuguhkan dengan cara-cara yang sederhana, tak berbelit-belit, dan tentu membahagiakan. Dan ruang-ruang seperti inilah yang kemudian layak disebut sebagai ruang belajar bersama tempat egalitarianisme dan kesetaraan menjadi bagian inheren dalam proses reproduksi gagasan.

BAGI SAYA, salah satu ruang belajar bersama itu di kota ini (dulu) bernama Pintu II Unhas. Tempat ini mungkin tak setenar Gang Rode Jogja yang berhasil “mencetak” anak muda-anak muda maju pada masa membuncahnya gerakan mahasiswa 1990-an. Tapi Pintu II Unhas ini punya cara sendiri untuk menjadi apa yang disebut David Harvey sebagai Space of Hope.

Di Pintu II Unhas dulu berdiri puluhan warung kaki lima dan di tengah deretan warung tersebut berdiri sebuah warung yang menjual minuman khas Makassar Sarabba dan tentu penganan pasangan minuman ini, ubi dan pisang goreng. Lalu apa yang istimewa dari tempat ini? Menu yang disuguhkan saya kira sama saja dengan pedagang menu sejenis. Tempatnya pun sama dengan deretan warung-warung lain yang beratap seng sederhana dan berdinding tripleks. Satu-satunya (dan paling utama) tempat ini menyuguhkan ruang yang memungkinkan terjadinya reproduksi gagasan yang bisa diakses oleh siapa saja.

Anda yang sempat menjadi bagian dari Pintu II Unhas saat itu tentu tahu benar bagaimana di warung ini didatangi oleh siapa saja, individu maupun komunitas dari latar organisasi dengan warna bendera yang berbeda-beda. Di tempat ini perbedaan-perbedaan ini tak begitu dipersoalkan dan yang terjadi masing-masing kemudian menarik kursinya untuk membentuk lingkaran yang tak terlalu besar untuk berdiskusi tentang apa saja. Iya, apa saja! Dan tentu tema tentang failed state ini mungkin paling selalu menjadi pembahasan yang kemudian diakhiri dengan pembahasan agenda alternatif malam minggu selain mencuci pakaian yang bertumpuk di kosan. Benar-benar indah!

Tahun 2005, warung-warung—termasuk warung Sarabba sejuta umat itu—di Pintu II Unhas digusur dan beberapa tahun kemudian berganti menjadi bangunan seperti yang kita saksikan saat ini. Penggusuran ini merupakan simbol penguburan jejak-jejak intelektual para maniak pencari ilmu pengetahuan yang tak terlalu senang berlama-lama didalam ruang-ruang kampus dan tentu penghilangan secara paksa atas ruang belajar bersama di kota ini. Dan sepertinya ini terus terjadi. Aneh!

DAN COBA lihat wajah kota kita sekarang, alih-alih berupaya untuk terus menyuburkan tumbuhnya ruang-ruang belajar bersama baru–paling tidak di area pendidikan—yang terjadi justru menjamurnya tempat-tempat menyalurkan hobi tarik suara. Saya tak tahu apakah menjamurnya pembangunan rumah bernyanyi dan sejenisnya berhubungan dengan maraknya kompetisi menyanyi di tivi-tivi, tapi yang pasti bulan Mei di kota ini sepertinya tak begitu berlawan lagi.[]

Bagikan Tulisan Ini:

comradebobhy (1 Posts)


Comments

Tags: Pintu 2 Unhas, Ruang Bersama

Tinggalkan Komentar