Payung Teduh Menaungi Musik Akhir 2012 di Makassar

Payung Teduh mendatangi Makassar. Band-band Kota Daeng bermain energik mengantar penonton menikmati Payung Teduh, di halaman Chambers, Boulevard Panakkukang, 29 Desember 2012 lalu. Mereka menjadi band-band pembuka dalam ajang musik penutup tahun di Makassar.

 Payung Teduh dan penggemarnya di Makassar. (foto: Farid Wajdi)

Payung Teduh? Sebuah band? Begitu tanggapan pertama yang terlintas di kepalaku saat beberapa teman mengajakku menyaksikan langsung penampilan mereka di halaman Chambers, salah satu distro terbesar di Makassar.

Karena tidak ingin terlambat, kami  sudah berada  di sekitar venue sekitar pukul 19.30 Wita. Setiba di sana masih sepi. Hanya panitia terlihat sibuk mempersiapkan acara. Di sana kami menemukan sesuatu yang menarik, yakni minibus yang menjadi toko musik berjalan bernama Musick Bus. Di sini kami bisa menemukan VCD dan DVD original artis mancanegara. Tak hanya itu, Musick Bus pun menjual kaos oblong impor The Beatles, The Smith, Metallica, dan band luar lainnya.

Musick Bus, toko musik berjalan yang ambil bagian di Chambers Yes 2012. (foto: Farid Wajdi)

Tepat pukul 20.00, sang MC, Fauzan membuka acara yang dilanjutkan dengan penampilan band pembuka, The Finalist. Rizky de Keizer (bass-vocal), A Cakra Manggabarani (gitar) dan Sarah Adelia (drum) segera menggebrak. Melodi gitar berefek distorsi menandai dimulainya konser.

“Kami meminta tampil awal karena setelah ini kami pun harus ada dalam launching video klip kami,” terang Rizky dan Cakra, sesaat sebelum tampil.

Sarah Adelia, sang penggebuk drum The Finalist. (foto: Farid Wajdi)

Trio The Finalist. (foto: Farid Wajdi)

Mereka membawakan single mereka, “Dia Memang Ada”. Berturut-turut mereka membawakan irama energik beberapa hits seperti “Just The Way You Are” milik Bruno Mars, “Bad Romance” hits Lady Gaga, “Black or White” lagu mendiang Michael Jackson. Semua dengan balutan gubahan ala The Finalist. Awal yang panas!

Ni’mal, vokalis Kicking Monday. (foto: Farid Wajdi)

Kicking Monday menjadi band berikutnya. Tensi pertunjukan menjaddi sejuk. Band beranggotakan Ni’mal (vokal/instrumen), Fadli (vokal/bass), dan Firman (gitar akustik) membawakan irama yang lebih santai. Cenderung pop jazz bertempo lambat. Mereka menampilkan single andalan mereka “Calculus Love”, menggubah “Kiss Me” (Sixpence None the Richer) , “Mrs Cold” (King of Convenience), dan ”Mengukir Bintang”, serta “Again” dari album mini mereka.

Parade band pembuka dari Makassar digenapkan oleh Adi Duri. Band ini membawakan beberapa lagu mereka seperti “Sumpah Matiku” ,“You Give Me Something” (James Morrison), ”Ku Ajak Cinta” , dan “Pantai yang Indah“. Band yang memiliki vokalis dengan suara khas ini mendapat tepuk tangan yang meriah. Tentu saja karena penampilan mereka yang luar biasa.

Aksi Adi Duri. (foto: Farid Wajdi)

Jam menujukkan pukul 22.10 Wita. Saatnya Payung Teduh. Dan muncullah Is (vokal/gitar), Comi (bas), Cito (drummer) dan Ivan (guitalele) memasuki panggung dan langsung memainkan “Berdua Saja”. Penonton di belakang mulai merapat. Ruang depan panggung tanpa sela.

Sebagai orang belum pernah mendengar lagu mereka, aku cukup takjub. Ini bukanlah band biasa yang akan tampil di televisi. Alunan gitarnya seakan membawa kita ke dunia lain. Begitu membius dan meneduhkan. Musik mereka terdengar seperti jazz, terkadang seperti keroncong tetapi bukan juga. Entahlah. Apapun genre mereka, musik mereka telah membawa angin segar untuk dunia musik Indonesia.

Is, sang vokalis Payung Teduh. (foto: Farid Wajdi)

Lagu kedua “Angin Pujaan Hujan” menyadarkan aku bahwa lirik lagu Payung Teduh sangat puitis. Ini berbeda dengan kenyataan bahwa band band baru sekarang banyak yang hanya mengadalkan tampang. Petikan gitarnya klasik, seperti mengajak kita bernostalgia tentang kenangan-kenangan cinta.

Ivan, Cito, Is, dan Comi [dari kiri ke kanan]. (foto: Farid Wajdi)

Malam itu, Payung Teduh membawakan 10 lagu, di antaranya “Cerita tentang Gunung dan Laut”, “Nurlela”, “Menuju Senja”, ”Kucari Kamu”, ”Rahasia”, dan “Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan”. Lagu-lagu itu dibawakan dengan anggun. Sang vokalis bernama Is berambut gondrong. Tak lupa ia melontarkan candaan di tengah lagu yang mereka mainkan. Pengakuannya berdarah Soppeng setidaknya memberi penjelasan kepada penonton yang bingung karena sesekali ia melontarkan ujaran berbahasa Bugis. Bahkan ia sempat menyanyikan potongan lagu Anging Mammiri, lagu khas Makassar.

Saat ”Resah” dimainkan seluruh penonton menyanyi syahdu dan teratur. Benar–benar meneduhkan. Tapi waktu terus  berputar, kebersamaan dengan Payung Teduh pun harus berakhir. Maka pertunjukan pun ditutup dengan lagu “Tidurlah”.[]

(Muhammad Farid Wajdi, @aiwajdi, fotografer yang bergabung dalam Komunitas StadeIDmks; Saddam Syukri, @emondamn, mahasiswa Sastra Inggris UNM, aktif di Komunitas Cinema Appresiator Makassar)

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (178 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


Tinggalkan Komentar