Tulisan ini ditulis pada tahun 2005 dan dimuat dalam buku Makassar Nol Kilometer
tribuntimur/mursalim djafar
Beberapa minggu lalu, saya kedatangan seorang teman yang sedang berlibur ke Makassar. Sebab tak punya kawan lain di kota ini, ia meminta saya menemaninya ke beberapa tempat menarik. Jadilah saya guide dadakan selama seminggu. Untunglah saya lahir dan besar di kota ini, jadi tahu seluk beluk kota yang luasnya berkisar 175,77 kilometer persegi ini.
Temanku memang istimewa, karena ia berasal dari Bandung yang tak punya pantai. Karenanya tak heran kalau ia begitu tertarik pada wisata pantai. Saya membawanya menyusuri Pantai Tanjung Bayang dan Tanjung Bunga sembari menikmati tenggelamnya matahari. Tentunya, ia kuajak pula menikmati sunset di salah satu kafe di Jl Metro sambil mencicipi pisang epe’, biar kesan manis akan keramahan orang-orang Makassar tak hilang dari ingatannya.
Di hari ketiga, saya membawanya menyaksikan kapal pinisi dan perahu-perahu tradisional berbagai ukuran yang bersandar di Pelabuhan Paotere. Katanya ia penasaran dengan Makassar yang terkenal dengan para pelaut tangguh. Sampai sekarang Pelabuhan Paotere masih menjadi pusat sandar perahu-perahu nelayan dari berbagai daerah.
Layaknya guide professional, saya mengajaknya menyusuri tempat menarik lain di Makassar dan sekitarnya seperti Fort Rotterdam, kawasan Pecinan, Air Terjun Bantimurung sampai Malino. Sayang, sampai pada malam terakhir liburan ia tak sempat mencicipi salah satu makanan Makassar, Ikan Bakar. Saya mengajaknya ke restoran yang terkenal dengan sajian ikan bakar, namun ia menolak. Ia tak sekadar ingin menikmati, tapi mau merasakan ikut membakarnya. Saya jadi bingung dibuatnya karena tak tahu di mana bisa mendapatkan ikan segar di malam hari.
Untuk mengatasi kebingungan, saya menghubungi beberapa teman demi menjawab tantangan teman ini. Dari informasi seorang kawan, katanya, saya bisa mendapatkan ikan segar di Pasar Senggol yang terletak di bagian selatan Makassar. Pasar ini juga, sebutnya, satu-satunya pasar malam tradisional yang ramai dari sore hingga pukul 22.00 Wita.
Maka pergilah saya menuju pasar yang terletak di ruas Jalan Hati Murni, Kelurahan Tamarunang, Kecamatan Mariso ini. Setiba di sana, saya kebingungan memarkir motor. Lahan parkir yang merupakan pertemuan Jl Hati Murni dan Jl Cendrawasih ini sangat sempit dan sangat terbatas. Mungkin hanya mampu menampung 10 motor. Untuk membawa masuk motor pun sangat susah. Gerobak-gerobak berisi pakaian, sepatu, barang kebutuhan sehari-hari, sampai alat-alat elektronik memenuhi kanan-kiri jalan yang mengharuskan saya mesti pelankan langkah. Demi Tuhan, begitu susah untuk menembus keramaian pengunjung di jalan yang dijejali gerobak itu. Entah berapa kali saya harus bersenggolan dengan pengunjung lain.
Mungkin lantaran malam Minggu, pasar ini dipadati pengunjung yang rata-rata remaja. Katanya, pasar ini memang selalu dipadati remaja yang datang sekadar untuk jalan-jalan atau window shopping layaknya di mal. Ada pula yang memanfaatkan untuk mencari kenalan baru, khususnya lawan jenis. Seorang pedagang bahkan berkelakar begini: “Kalau mau cari jodoh, datang saja ke sini malam Minggu.”
Lebar jalan yang dijadikan pasar hanya sekitar tujuh meter, membuat para pengunjung yang datang harus bersenggolan. Tak sedikit pula pengunjung, khususnya pemuda-pemudi, yang memang sengaja menyenggol lawan jenisnya. Hal inilah yang kemudian menjadikan pasar ini diberi nama Pasar Senggol.
***
Menurut HM Nur Muslim, Ketua Yayasan Keluarga Pengusaha Lemah (YKPL) yang membina para penjual ikan dan pedagang kaki lima waktu itu, pasar ini dimulai sekitar tahun 1962. Pasar itu awalnya hanya tempat nelayan yang melaut di Selat Makassar menjual hasil tangkapannya setiap sore di Pantai Losari, sekitar Jl Pasar Ikan sekarang. Aktivitas jual beli yang berlangsung sore sampai malam hari itu kemudian memancing kehadiran pedagang-pedagang yang menjajakan aneka barang kebutuhan sehari-hari. Penjual ikan bercampur pedagang kaki lima ini kemudian perlahan menjadikan tempat tersebut sebagai sebuah pasar tanpa nama.
Pasar itu kemudian hanya bertahan selama tiga tahun. Pada tahun 1965, Daeng Patompo, Walikota Makassar waktu itu, membongkarnya. Para penjual ikan dan pedagang kaki lima ini kemudian dipindahkan di dua tempat. Sebagian dipindahkan ke Jl Hati Mulia, sebagian lainnya dipindahkan ke Jl HOS Cokroaminoto. Pada 1966, para penjual ikan dan pedagang kaki lima yang berada di Jl Hati Mulia digeser lagi ke sisi utara Stadion Mattoanging. Pada tahun 1967, mereka kemudian dipindahkan lagi ke Jl Merpati. Di tempat ini mereka sempat bertahan cukup lama, sekitar sembilan tahun.
Di tahun 1976, para pedagang pindah lagi ke Jl Cendrawasih, depan Stadion Mattoanging. Di depan markas kesebelasan PSM itu mereka bertahan dua tahun lantaran pada 1978 dipindahkan lagi ke Jl Sam Ratulangi, belakang Mattoanging. Keberadaan mereka ternyata tidak mendapat persetujuan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Sulsel selaku pengelola Stadion Mattoanging. Mereka mendesak pasar ini dipindahkan karena dianggap mengganggu aktivitas olahraga di Stadion Mattoanging.
Pada tahun 1980, mereka dikembalikan ke bagian selatan lokasi awal mereka, sekitar Pantai Losari, tepatnya di depan rumah jabatan Walikota sekarang. Lokasi baru ini ternyata tidak dapat menampung seluruh penjual ikan dan pedagang kaki lima itu. Atas usulan Nur Muslim, Pemda yang kesulitan mencari lokasi akhirnya memindahkan mereka ke depan Pasar Sambung Jawa di Jl Hati Murni, Kelurahan Tamarunang Kecamatan Mariso. “Sebenarnya usulan ini sudah kami ajukan tahun 1978 ketika Pasar Sambung Jawa baru diresmikan,” ungkap Nur Muslim yang juga mendirikan YKPL pada 1976 silam.
Sementara itu, para penjual ikan dan pedagang kaki lima yang dipindahkan ke Jl HOS Cokroaminoto mengalami nasib serupa. Mereka dipindahkan lagi ke area Taman Hiburan Rakyat (THR) di Jl Kerung-kerung. Pemindahan lokasi ini bukannya mengangkat nasib mereka. Secara perlahan-lahan pasar ini mati karena pembeli makin berkurang. Kondisi ini membuat para penjual ikan dan pedagang kaki lima itu memilih untuk kembali bergabung dengan teman-teman mereka yang berjualan di Jl Hati Mulia.
Meski lokasi mereka berkali-kali dipindahkan, nama dan ciri khas pasar tetap bertahan. Orang masih mengenal dan menyebutnya sebagai Pasar Senggol. Jam berjualan juga masih sama yaitu pukul 16.00 Wita sampai 22.00 Wita. Entah sebab apa Pemerintah Makassar tak memberi nama resmi untuk pasar itu. Itulah sebabnya nama Pasar Senggol terus bertahan.
Pengelolaan pasar pun tak pernah mendapat perhatian pemerintah. Semuanya diserahkan kepada Persatuan Pedagang Kaki Lima (PPKL) yang dibentuk dan diketuai oleh Nur Muslim sejak 1984. Lembaga inilah yang mewadahi sekitar 500-an anggota. Dana pengelolaan diperoleh dari swadaya anggota dan secara sukarela. Petugas kebersihan yang sehari-hari menangani kebersihan pasar diupah oleh PPKL. “Kami tidak pernah memungut retribusi, dana diperoleh dari kerelaan anggota,” kata Nur Muslim yang pernah menjadi anggota dewan pada tahun 1987-1992 mewakili fraksi PPP ini.
Selain mengupah petugas kebersihan, PPKL juga secara rutin mengadakan kerja bakti untuk menjaga kebersihan pasar. Fungsi PPKL pun tak hanya sebatas pengelolaan pasar sehari-hari tapi juga mengadakan advokasi terhadap anggotanya. Beberapa tahun lalu Pemerintah Kota berencana memindahkan lagi Pasar Senggol ke Jl Nuri, sebelah barat lokasi sekarang. Rencana ini ditolak oleh para pedagang karena dinilai rawan kecelakaan lalu lintas. Akhirnya pemindahan ini urung dilaksanakan setelah pemerintah mengadakan survey pada bakal lokasi baru itu.
***
Di ujung barat Jl Hati Murni, saya menjumpai 20-an penjual yang menggelar ikan segar di atas meja setinggi pinggang berjejer di sepanjang Jl KS Tubun Buntu. Penjual-penjual ikan segar yang menjadi ciri khas pasar ini sejak dulu juga masih tetap bertahan. Ikan-ikan segar itu mereka ambil di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Jl Rajawali, sekitar tiga kilometer sebelah utara Pasar Senggol. Ada juga penjual ikan yang mengambil langsung dari Pantai Barombong, sekitar 10 km ke arah tenggara. Berbagai jenis ikan dan hasil laut yang segar dapat kita jumpai di sini, misalnya; ikang bolu (bandeng), cakalang, layang (makarel), lamuru, baronang, sunu, dan ikan segar lainnya.
Mata saya tertuju pada beberapa ekor baronang, dan langsung membelinya tanpa menawar. Harga ikan dan barang-barang lain di pasar ini katanya memang lebih murah dibanding tempat lain, makanya saya berpikir tak perlu menawar. Sambil menunggu kembalian, saya sempat berbincang dengan penjual ikan itu. Beberapa tahun lalu, isu ikan beracun yang beredar di Makassar juga memukul nasib para penjual ikan di Pasar Senggol. Harga ikan tiba-tiba anjlok karena menurunnya konsumsi ikan oleh isu itu. Hanya satu dua orang yang datang membeli. Sejumlah penjual ikan bahkan memberikan ikan segarnya pada kucing yang lewat karena putus asa.“Ero’mi niapa’, tena tau ero’ malli juku. Terpaksami’ dikasi kucing saja,”[*] tutur Dg Nuntung, salah seorang penjual ikan, mengenang masa pahit itu.
Satu lagi ciri khas lainnya yang saya jumpai adalah penjual kue tradisional Bugis-Makassar seperti cucuru bayao, bolu peca, barongko, bingka, bolu lullung, tape, burasa, paserra, nennu-nennu, beppa pute, onde-onde, lame-lame, ringgi-ringgi, suwella, jompo-jompo, roko-roko, bandang-bandang, doko-doko cangkuneng, jalangkote, sukun goreng, dan kue-kue lainnya. Penjual kue tradisional ini hadir setelah Pasar Senggol berlokasi di Jl Hati Murni. Kue-kue tradisional di atas dapat dijumpai di bulan puasa. Sementara di bulan-bulan lainnya, hanya sebagian jenis kue yang dapat kita temui.
Setelah membeli ikan saya bergegas pulang, meninggalkan pasar yang semakin ramai oleh anak-anak muda. Tak lupa saya juga membeli arang untuk membakar ikan. Di depan kios penjual arang, kulihat sepasang remaja yang saling berkenalan setelah sebelumnya sempat bersenggolan.
Sesampai di rumah saya disambut dengan senyum oleh teman itu. Akhirnya keinginannya untuk menikmati ikan yang ia bakar sendiri tercapai. Dengan lahap ia menghabiskan seekor baronang selebar dua telapak tangan orang dewasa yang panjangnya sekitar tiga telapak tangan. Esok paginya, saya mengantar teman itu ke bandara. Sebelum berpamitan, ia berjanji akan kembali lagi ke Makassar suatu saat. Tentunya untuk menikmati ikan bakar.[*]
[*] “Mau bagaimana lagi, tak ada orang yang mau membeli ikan. Terpaksa dikasi kucing saja” (bahasa Makassar)
suasana pasar tradisonal – - – walaupun semrawut, tapi tetap menyimpan daya tarik – - – - mudah mudahan ia tidak terlindas ‘serbuan’ retail retail yang merambah hingga ke pemukiman pemukiman warga