Minimarket: Tsunami Baru di Makassar (III)

Karakter gadde-gadde dan minimarket berbeda. Warga mendirikan usaha gadde-gadde cenderung sebagai bentuk bertahan hidup, sementara minimarket demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Bagaimana sebaiknya pemerintah menangani usaha-usaha seperti ini? Dalam tulisan bagian ketiga inilah akan dibahas.

Gerai Alfa Mart di Jalan Yos Sudarso, Makassar. [foto: Sofyan Syamsul]

Para pelaku usaha gadde-gadde masih menumpukan harapan kepada pemerintah. Berdasarkan survei AcSI, mayoritas mereka (86%) menuntut agar pemerintah bersegera membatasi pendirian minimarket modern dan mengatur zonasinya. Bahkan, seorang responden dengan tegas menyatakan agar pemerintah membongkar paksa minimarket yang disinyalir tak memeroleh izin pendirian.

Pandangan ini muncul mengingat adanya kemudahan dari pihak-pihak terkait dalam meloloskan izin pendirian kepada pemilik usaha ritel modern tanpa mempertimbangkan dokumen analisa sosial ekonomi kemasyarakatan di daerah setempat.

Sejumlah pelaku usaha gadde-gadde, seperti Haji Kamaruddin di Perumahan Bumi Tamalanrea Permai, menyatakan bahwa Pemkot Makassar selama ini terkesan sengaja membiarkan pembangunan minimarket modern sehingga jumlahnya banyak.

“Mau mi di apa, pengusaha itu banyak ki modalnya. Jadi dia bisa bangun toko yang besar, bersih, ada ki juga AC na. Apalagi kalau ambil barang, ada ji tempatnya sendiri. Kalau begini terus, bisa-bisa kita yang pa’gadde-gadde bangkrut. Harus ki pemerintah atur ini, jangan sampai tutup maki’ baru pemerintah sadar! Tidak apa ji ada Alfamart, tapi jangan terlalu banyak. Masa tiap 50 meter ada dua!” begitu Haji Kamaruddin berpendapat.

Usaha gadde-gadde berfungsi sebagai katup pengaman ekonomi bagi setiap keluarga kalau-kalau pekerjaan utama kepala keluarga sebagai buruh atau pekerja sektor informal mengalami kesulitan. Untuk itu pemerintah seyogyanya menjaga kestabilan usaha mereka dan memberikan dukungan dalam menjaga proses kemandiriannya agar tidak runtuh.

Di satu sisi, pelaku usaha toko moderen seperti Alfamart, Indomaret, dan Alfamidi melakukan perluasan bisnis. Gerai-gerainya bahkan sudah berdiri di beberapa permukiman padat yang dihuni ratusan gadde-gadde jauh sebelumnya. Ekspansi bisnis ini menjadi ancaman karena berubahnya kekuatan pasar dan keuntungan yang selama ini masih didominasi gadde-gadde, toko kecil, toko grosir lokal, dan usaha rumah tangga lainnya.

Titik letak gadde-gadde dan minimarket di Jalan Mannuruki, Makassar. [Dokumentasi AcSI]

Ekspansi toko modern ini rupanya ditopang oleh kebijakan yang abai mengatur mereka secara ketat. Pemerintah sejauh ini hanya khawatir dengan supermarket dan hypermarket. Bahkan, pada konteks tertentu, ditengarai ada jalinan kerjasama antara birokrat tertentu dan pengusaha dalam memudahkan perizinan mereka hingga terkatung-katungnya urusan zonasi usaha minimarket ini. Termasuk di dalamnya adanya kemungkinan praktik ‘predatory pricing’ oleh pelaku toko modern pada produk-produk tertentu yang merugikan pelaku usaha kecil.

Di Makassar, regulasi bagi minimarket diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 15 tahun 2009 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan Pasar Modern, yang mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 112/2007 dan Permendag nomor 53/2008. Untuk itu, salah satu upaya mendukung usaha mikro dan kecil di kota Makassar adalah melalui tindakan advokasi kebijakan.

Upaya ini diawali dengan pengorganisasian sosial menuju gerakan sosial membela praktik ekonomi rakyat. Untuk itu, elemen-elemen penggerak sosial pertama-tama perlu mendorong agar pa’gadde-gadde berkumpul dan berserikat untuk kelak mereka bisa menyuarakan kepentingan sendiri.

Kedua, penggerak sosial ini menggalang mitra aksi, khususnya dari kalangan mahasiswa dan ornop, serta anggota parlemen dan birokrat tertentu yang reformis dan siap memperjuangkan kepentingan mereka dalam upaya melakukan advokasi kebijakan melalui revisi Perda Nomor 15/2009. Perda ini berisi beberapa pasal yang mengancam pelaku usaha gadde-gadde mengalami kemunduran usaha permanen dan tentunya melemahkan ekonomi kerakyatan yang telah berlangsung lama.

Poin pertama adalah adanya diktum yang mengatur pengecualian persyaratan perizinan—sebagaimana disebutkan di atas—bagi minimarket modern sehingga ekspansinya cepat. Poin kedua adalah penetapan zonasi minimarket—sebagaimana sudah banyak disinggung di media massa—harus segera diselesaikan Pemkot Makassar. Ketiga, Komisi Pengawasan dan  Persaingan Usaha (KPPU) perlu didukung dalam upaya mereka terus menerus menegakkan keadilan dalam berusaha, khususnya menertibkan praktik politik dagang yang disebut predatory pricing dan membangun keseimbangan kekuatan pasar antara ritel modern dan ritel lokal agar terbaginya keuntungan bisa lebih adil. Sebagai tindakan keberpihakan kepada pelaku usaha gadde-gadde maka dalam proses revisi perda (dan bila perlu adanya perda khusus penantaan toko modern skala minimarket) maka ada baiknya bila Pemkot Makassar memberlakukan moratorium perizinan bagi pembukaan minimarket berjejaring ini.

Bila elemen ekonomi rakyat ini bisa bersatu padu, maka mereka bisa leluasa berhadapan dengan parlemen seleluasa dengan pengusaha, partai politik, dan kelompok kepentingan lainnya yang kerap bernegosiasi dalam menentukan poin-poin urgen dalam regulasi daerah. Dengan berserikat, mereka juga bisa berfungsi sebagai kelompok penekan melalui tindakan berkelompok (class action) sewaktu-waktu bila praktik ekonomi serupa tsunami yang diumpamakan oleh Daeng Jama’, semakin menenggelamkan mereka.[]

(Ishak Salim , @isangkilang, peneliti AcSI [Active Society Institute] – Komunitas Ininnawa)

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (166 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


Comments

Tinggalkan Komentar