Mengusir Hantu-hantu Kota

Lima tahun berkantor di Bappeda Sulawesi Selatan di bilangan Jalan Urip Sumoharjo, Makassar saya peroleh banyak pengalaman, cerita suka dan duka. Juga hal-hal menggelikan. Salah satunya tentang kisah kuburan Tionghoa yang disulap jadi kantor. Dari jendela kantor di lantai 2 Bappeda itu, saya kerap menerawang ke area eks kuburan yang demi kantor mentereng tersebut tulang-belulang manusia dipindahkan ke tempat baru. Menerawang tentang pembangunan untuk mengubah keadaan. Meski tak rinci, apakah berdampak baik atau sebaliknya.

Lalu, saya membayangkan denyut pembangunan Sulsel di era Prof. Ahmad Amiruddin pencetus dibangunnya Kantor Gubernur termegah di Indonesia Timur pada tahun 80-an. Tentang Prof Amiruddin yang memboyong Unhas dari Baraya ke Tamalanrea, yang memplot poros Pettarani sebagai area kantor pemerintahan. Lalu muncullah perumahan Blok E dan sekitarnya, kompleks Faisal dan turunannya.

Tentang kisah kuburan Tionghoa itu seringkali mengusik ketika harus pulang larut dari kantor. Tentang peristiwa aneh dan cerita beberapa pegawai tentang suara-suara aneh di koridor kantor. Tentang hantu-hantu yang tak mau pergi. Namun, saya kemudian sadar itu bukan hantu yang harus ditakuti. Sebenarnya, ada hantu lain yang dari waktu ke waktu yang kian mengusik ketenangan warga Makassar, ketenangan kita. Singkat kata, kontemplasi saya berujung pada rangkuman fakta, realitas kota yang serba mengkhawatirkan.

Sebagai warga yang mengais rezeki di Makassar, pada rentang lima tahun itu (ini pengalaman saya bekerja pertama dan lama di Makassar, sebelumnya saya menghabiskan hampir 7 tahun di Selayar, 2 tahun di Luwu dan Luwu Utara serta 3 tahun di Aceh-Nias), sangat beralasan ketika saya tak bisa melupakan kesan selama mengingat kaleidoskop peristiwa di dalamnya, tentang dinamika Makassar.

Pada lima tahun itu, ada banyak perubahan. Tak sedikit kegelisahan, terpapar kekhawatiran pada perkembangan kota yang semakin ekstrem. Menggelisahkan. Pada jarak tempuh yang tak lagi senyaman, seperti dua dekade lalu. Jalanan kota menjadi tak lagi bersahabat, para pengendara, utamanya saya, kerap dihantui rasa was-was. Dua kali kecelakaan yang saya alami di Jalan Mallengkeri dan Jalan Kakatua, Makassar membuat saya semakin was-was. Melihat kecelakaan sudah tak terhitung lagi.

Hantu Sesungguhnya

Saya tinggal di kawasan Tamarunang, Gowa, Jarak dari rumah ke tempat kerja antara 11 dan 13 kilometer. Saya membilangnya dari speedometer motor. Jarak 11 km jika lewati jalur Tamarunang, Pao-Pao, Aroeppala, Hertasning Baru, Toddoppuli Raya, Pengayoman, Adyaksa, Abdullah Daeng Sirua, Jalan Prof Basalamah (dulu Racing Centre) hingga Urip Sumoharjo. Kawasan ini merupakan kawasan yang dalam 2 tahun terakhir telah menjelma daerah elite, mahal, meski jalan dari Kota Sungguminasa, Gowa ke sana melewati jalan sempit, berlubang dan gelap.

Alternatif kedua, Tamarunang, Jalan poros Malino – Sultan Hasanuddin (wilayah Gowa), Jalan Alauddin, Pettarani hingga Urip Sumoharjo. Poros Hertasning – Urip Sumoharjo berjarak 11 kilometer. Poros Alauddin – Urip 13 kilometer. Saya lebih senang memilih alternatif pertama. Meski jalan di Pao-pao amat sempit namun hanya sekitar 2 kilometer, sehingga kalau memasuki Aroeppala yang lempang bisa menggeber motor lebih kencang. Tidak banyak kendala di jalur ini. Tak seperti di jalur Pettarani.

Awalnya, saya masih sering via jalur Pettarani meski lebih jauh 2 kilometer ketimbang jalur yang satunya namun belakangan ini saya makin malas melewatinya. Macet dan ketakberaturan di poros Alauddin dan Pettarani membuat waktu tempuh yang biasanya 30 menit, bisa mencapai 1 jam, apalagi jika sore hari.

Sebagai warga yang menggunakan jalan kota, saya gerah dan tak nyaman. Grafiknya menanjak.

Tak terhitung lagi berapa kali dihadang demo di depan UMI dan Universitas 45. Macet di sekitar flyover hingga Alauddin, utamanya di depan Universitas Muhammadiyah.   Tak terhitung lagi harus berapa kali memutar ke Jalan Abdullah Daeng Sirua ketika harus berbelok dari arah Urip karena terhalang demo. Tak terhitung lagi berapa kali melihat mahasiswa membawa batu dan berhadap-hadapan dengan polisi. Hingga saya terhalang masuk Kantor Gubernur. Tak terhitung lagi demo di depan kantor Kejaksaan Sulsel di samping flyover.

Pusat macet seperti di poros Alauddin di depan Universitas Muhammadiyah, karena menumpuknya bangunan-bangunan komersial yang menyedot pengunjung sementara jalan semakin menyempit. Di ujung Pengayoman dan Boulevard pun demikian. Jalan di sana ibarat mulut botol yang sulit ditembus oleh warga yang semakin bertambah setiap pagi. Harapan pun digantungkan ke para ‘Pak Ogah’.

Macet telah bersimbiosis dengan maraknya pembangunan pusat-pusat perbelanjaan, pusat hiburan, hotel, supermarket berjejaring, hingga laku anarkistis para pencari keadilan di jalan raya di sekitar pusat-pusat pendidikan. Nah, dalam 5 tahun melintas di dua poros itu secara bergantian, kerap muncul renungan:

Pertama, suasana Jalan Pettarani yang dijejali pusat pertokoan, pusat bisnis, pusat hiburan, resto cepat saji dan situasi paralel dengan pada situasi jalan yang tak pernah lepas dari sengkarut macet, apakah ini terjadi karena pembangkangan pada visi Gubernur atau Walikota Makassar tahun 80an yang memproyeksikan kawasan Pettarani sebagai pusat perkantoran pemerintah? Bukankah dulu, Prof Amiruddin telah menyatakan bahwa kawasan Pettarani diperuntukkan untuk fungsi pelayanan publik pemerintahan?

Apakah pemerintah kota telah keluar dari koridor? Apakah warga telah digiring ke visi pembangunan para pemimpin yang tak jelas ujung pangkalnya?

Kedua, seringnya terjadi kemacetan di jalan Urip Sumoharjo karena demonstrasi mahasiwa atau umum yang cenderung anarkistis, apakah karena tiadanya jalur alternatif non tol dari kota Makassar ke timur kota seperti Tamalanrea, Sudiang sehingga warga tak punya pilihan ketika suasana chaos tercipta?  Apakah perlu ruang khusus untuk menyuarakan aspirasi sehingga akses publik tak diganggu oleh demonstran?

Ketiga, pusat pemerintah provinsi di poros Jalan Urip Sumoharjo telah menjadi magnet perkembangan kota, selain itu pindahnya kampus Universitas Hasanuddin, salah satu ikon pendidikan utama di Makassar dari Baraya ke Tamalanrea tampaknya telah mendorong agregasi permukiman, pembangunan pusat hiburan, keramaian dan pusat belanja yang massif dan berdampak pada keruwetan jalan raya.

Jika ini tak diantisipasi maka kelak jalan Perintis Kemerdekaan itu hanya tinggal nama, tanpa arti, warga semakin tak merdeka karena jalan mereka dirampas para pemilik kendaraan umum yang semena-mena mengisi ruas jalan, para penjaja buah-buahan yang tak mau diatur, para pedagang yang tak berizin. Instrumen pemerintah pada undang-undang, pada penertiban, pada pengawasan di mana?

Bukan hanya di Perintis Kemerdekaan, di poros Hertasning Baru hingga Aroeppala, kota tanpa aturan mulai hadir di sana, orang semena-mena membawa ikan, buah, sayur, dan menumpahkannya di bahu jalan utamanya pada sore hari. Para penjaja pakaian rombeng, eks luar negeri, bebas membuka lapak. Siapa kuat, siapa cepat dia berkuasa di sana.

Apakah ini kompensasi dari kemurah-hatian pemerintah kota pada investor dan pengembang real estate, mall dan pusat perbelanjaan yang merebut ruang warga di sekitar Pettarani? Lalu warga biasa menumpahkannya di bahu jalan? Rumah-rumah elite berdiri bak jamur di musim hujan, para pedagang kaki lima pun tak kehilangan momentum.

Keempat, titik kemacetan terjadi di pinggiran, saya sebut pinggiran karena menghubungkan pergerakan dari timur kota ke pusat kota, terjadi di pinggiran karena mempertemukan pinggiran selatan ke pusat kota. Sayangnya, ruas jalan tak bertambah, terbatas jalur alternatif dan Pemerintah Kota tak punya pilihan praktis dan cepat. Lalu untuk apa ada perencana pembangunan kota, untuk apa ada reklamasi pantai dan membangun mercusuar kekuasaan sementara warga harus berjibaku dengan hantu-hantu jalan raya? Kemacetan, ruas jalan sempit.

Hantu Pembangunan Kota

Saya, kita, warga, kini dihantui kemacetan saban hari. Tiba-tiba saja mobil menumpuk, motor berdesakan, klakson dan sirene silih berganti. Raungan mereka seperti pekik hantu yang menakutkan, seakan-akan lari dan bergegas adalah pilihan utama dan tak  bisa ditawar lagi.

Pemkot membangun median jalan raya seperti di Alauddin, Pettarani. Di Pettarani, saya selalu dihantui lidah ular jika melihat formasi median. Berlekuk dan aneh. Tak sedikit ujung median retak, terbongkar, nampaknya dihantam kendaraan. Beberapa ruas jalan berlubang memakan korban karena tiadanya penanda atau upaya menutupnya sedini mungkin. Di Alauddin median jalan telah menjadi lahan produktif para pemuda, mereka mengais Rupiah dari kendaraan yang hendak berputar.

Di tengah kemajuan kota seperti yang digemborkan para pengambil kebijakan, di tengah klaim pendukung penguasa, di tengah perkembangan ekonomi wilayah seperti dimaklumatkan para pemimpin kita dihantui kerusuhan pikiran, dihantui kemacetan, diraungi klakson, dicecar pengemis, dibuat marah tukang parkir siluman hingga dibuat was-was oleh pembalap liar.

Lalu jika itu yang terjadi apakah kita bisa bangga dan bahagia meski grafik pembangunan mal, pusat bisnis, pusat hiburan, minimarket, bertambah? Apakah kita bisa nyaman di jalan raya meski usikan sana-sini tak pernah usai? Jika ini terus terjadi kepada siapa kita sematkan kata gagal?

Jika situasi terus menerus berlangsung kepada siapa sesal ini dialamatkan? Perencana kota? Para pemimpin? Para politisi yang gagal melindungi keselamatan warganya melalui legislasi dan perhatian? Para aparat dan pamong yang tiada ketika terjadi insiden di jalan raya sementara uang rakyat telah disiapkan untuk mereka?

Kini, para hantu pembangunan kota berlindung di balik pengambil kebijakan yang tak mempunyai visi membawa kota, hantu pembangunan kota berlindung di balik baliho yang bermanis mulut dan mengumbar janji tanpa bukti, hantu pembangunan kota yang menyulap lahan publik untuk diberi upeti dan dikomersilkan. Hantu pembangunan kota berlindung di balik kebijakan retribusi yang membiarkan para tukang parkir melanggengkan praktiknya tanpa karcis. Yang selalu bilang, “maaf, karcis sudah habis”, ketika ditanya bukti karcisnya.

Hantu pembangunan kota ada di ketiak anggota legislatif yang bisa saja kong-kali-kong dengan eksekutif ketika mereka menemukan kejanggalan namun tak melakukan koreksi. Pada  retribusi, para konversi lahan, pada perizinan bangunan tanpa melalui prosedur, dan lain sebagainya.

Layaknya hantu, warga memang harus waspada. Tapi waspada tetap saja mengkhawatirkan. Tetap saja sewaktu-waktu ditelikung hantu yang menjelma setan gentayangan. Kita harus mengusirnya dari tanah Makassar, dari bumi orang-orang merdeka. Dari bumi para pejuang kemanusiaan. Dari bumi yang telah melahirkan pejuang-pejuang dengan jiwa sosial yang tinggi, bumi Karaeng Pattingngalloang, Sultan Hasanuddin, Wolter Monginsidi, Emmy Saelan hingga Andi Pangerang Petta Rani.

Warga seharusnya kompak mengusir para hantu yang bersemayam di lubuk hati perencana kota. Yang menyulap data dan informasi demi memulus-luluskan agenda sesatnya; bahwa pembangunan ekonomi dan pertumbuhan adalah segalanya. Hantu itu harus dikorek dari otaknya, yang memutar otak kaum terpelajar itu agar tak salah jalan dan melabrak banyak aturan demi melanggengkan kekuasaan materialistik.

Kita harusnya selalu tanggap pada visi misi palsu para pemilik wajah manis yang dipaksakan, yang mencari simpati demi menangguk kuasa. Yang tak mau mendengar keluh kesah warga, yang mengabaikan kekayaan pengalaman, pengetahuan warganya.

Lantaran dia enggan ke Lelong Rajawali, ke Tanjung Merdeka, menengok kanal Pannampu, ke Bara-Baraya, menyambangi Muara Sungai Tallo, untuk datang ke pusat-pusat peradaban, pusat-pusat pemerintahan dan kebudayaan luhur yang bersemayam di museum kota. Lantaran dia tak belajar dari realitas warga, sebab dia hanya memuaskan nafsunya, maka kita harus mengusirnya sebelum seluruh kota kehilangan cahaya.

Kau tahu? Di kompleks kantor Gubernur itu, untuk pertama kalinya saya melihat burung hantu yang ukurannya dua kali lipat dari biasanya. Pak Nur, sopir kantor kami yang menemukannya sedang tak berdaya. Burung yang malang…

(Kamaruddin Azis, @d3nun, pemerhati dan fasilitator pembangunan)

Bagikan Tulisan Ini:

Comments

Leave a Reply