“Mengusik” Museum Kota Makassar

Kesan seorang warga Makassar yang mengunjungi Museum Kota Makassar, baru-baru ini.

Museum Kota Makassar [Foto: Rahmat Arham]

Waktu yang semula sudah saya atur dengan baik untuk ke Museum Kota Makassar jadi anjlok. Apa pasal? Museum tersebut tidak memberi rasa nyaman saat saya melintas dari satu ruangan ke ruangan lainnya, dari satu peninggalan ke peninggalan lainnya. Alih-alih rekreasi sejarah, yang datang malah rasa was-was dan ingin segera keluar dari museum. Apalagi saya seorang diri mengelilingi museum itu – pegawainya tidak acuh. Memang ada benarnya kalau museum terkesan angker hingga muncul pemandangan yang mencekam. Tapi bukankah museum sarana yang disediakan kota bagi siapa saja yang ingin tahu sejarah, membagi pengetahuan visual melalui artefak.

Saya berencana sekitar 30 menit mengelilingi gedung yang bertingkat dua itu. Berkunjung pukul delapan pagi, pikir saya bisa mereduksi perasaan angker dibantu sinar matahari. Namun, hanya butuh sekitar lima menit untuk keluar. Saya tidak tahu bagaimana perasaan gedung tua itu jikalau banyak orang yang tidak betah berada di dalamnya. Mungkin ada kesenduan tersendiri, entahlah. Seandainya gedung itu bisa bicara, bisa saja dia berkata, “Ya, sudah nasib jadi gedung tua dan dijadikan museum yang kurang terawat!” Gedung yang dijadikan museum adalah salah satu gedung peninggalan pemerintahan kolonial. Saya belum tahu dulunya gedung ini berfungsi sebagai apa. Kurang terawat? Iya memang kesan itu yang saya dapatkan, meskipun sebenarnya ada pegawai yang tiap hari kerja berkantor di situ.

Pemandangan aneh mulai tampak setelah saya melintasi lobi. Disambut sepasang manekin berpakaian baju bodo’ yang sebenarnya lebih mirip patung lilin. Ada sepasang manekin lagi yang membelakangi saya ketika menuliskan nama pada daftar kunjungan. Uh, kertas yang menjadi daftar kunjungan itu berdebu. Di depan sepasang manekin ini ada piano. Seakan-akan mereka sedang memainkannya, sang pria berdiri di samping perempuan yang duduk khusyuk mendentingkan jari pada piano. Mereka terlihat perlente. Manekin pria mengenakan pakaian formal lengkap dengan topi rajutan dan perempuan mengenakan gaun putih, juga lengkap dengan topi rajutan. Di depan sepasang manekin yang bermain piano itu ada tangga untuk menuju ke tingkat dua gedung museum. Tangga berbahan dasar kayu. Saya belum tahu apa motif di balik pengelola museum memasang dua pasang manekin. Bagi orang seperti saya yang mempunyai perasaan takut akan hal gaib, saya berpikiran ini adalah bagian dari teror halus mencekam.

Manekin selamat datang. [Foto: Rahmat Arham]

Saya mengecek nama terakhir pengunjung sebelum saya datang. Dua hari lalu ada kunjungan dari seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pada bagian kolom “kesan”, tertulis kesan yang tidak berkesan sama sekali sampai saya lupa kesan apa yang dituliskan. Timbul perasaan curiga, jangan-jangan yang mengisi ini hanyalah pegawai museum sendiri! Dengan dalih bahwa Museum Kota Makassar tidak sesepi yang dibayangkan pengunjung. Sepengamatan saya beberapa kali, memang museum ini begitu sepi sepanjang hari. Saya malah berpikir lebih jauh, bahwa pegawai museum sudah mempunyai jatah masing-masing untuk mengisi daftar kunjungan.

Ada dua ruangan di tingkat pertama. Ruangan di sebelah kanan adalah kantor pengelola Museum Kota Makassar. Ruangan di kiri merupakan ruangan pertama bagi pengunjung, yang berisi cerita Makassar sebagai kota pelabuhan. Seingat saya, ada foto yang menjelaskan kolonial mulai masuk di kota pelabuhan ini, menggambarkan suasana Benteng Somba Opu, sampai dengan peninggalan artefak masyarakat Makassar melawan penjajah. Dengan kata lain, ruangan ini mencakup profil singkat Kota Makassar. Cukup gagah, tapi kenapa perasaan seram saya juga makin gagah. Desiran angin dari ventilasi ruangan ini terdengar tajam menusuk telinga.

Ruangan tadi terhubung dengan ruangan lain yang lebih besar. Melewati perbatasan antar ruangan, saya merasa ada sengatan pada leher. Berbentuk benang halus tapi saya tidak mampu melihat secara kasat mata. Mungkin itu bagian dari sarang laba-laba. Bisa juga ucapan selamat datang. Ruangan ini lebih besar dari ruangan sebelumnya. Mungkin dua kali lebih besar atau lebih. Di dalamnya terdapat uang kertas zaman dulu dan foto-foto pahlawan nasional. Ada juga saya lihat replika patung kepala ratu Belanda. Mungkin Ratu Wihelmina. Warnanya coklat. Saya tidak cukup berani melihat langsung dalam jarak beberapa sentimeter. Beberapa artefak dalam ruangan ini juga bernasib sama. Replika patung kepala ini mempengaruhi saya untuk segera angkat kaki meninggalkan ruangan ini. Nuansanya tidak secerah sinar matahari. Lebih buruk dari ruangan sebelumnya.

Ruang kedua Museum Kota Makassar. [Foto: Rahmat Arham]

Setelah menyelesaikan rekreasi sejarah yang tidak menarik di lantai dasar, saya sudah malas ke lantai berikutnya. Namun saya lakukan juga daripada ditinggal rasa penasaran. Sebelum meniti tangga, ada tulisan, “Mohon Alas Kaki Dilepas!” Ada sepasang satu ternyata. Syukurlah berarti saya tidak sendiri di atas. Paling tidak saya bisa ketemu dengan salah satu pengelola atau sedikit bercerita tentang museum ini.

Meskipun tujuan akhirnya adalah ke lantai atas, namun tangga ini tidak lantas langsung menuju ke atas. Ada persinggahan setelah meniti beberapa anak tangga. Anggaplah sebagai titik tengah. Ada dua pilihan: kiri dan kanan. Jika memilih untuk meniti anak tangga ke kiri akan didapatkan satu ruangan yang dominan berwarna kuning. Selain ditutupi gorden berwarna demikian, sinar matahari juga membantu untuk menegaskan warna ruangan tersebut. Sedangkan kalau ke kanan maka akan langsung menuju ke atas dan akan ditemui ruangan paling besar.

Saya memilih untuk meniti anak tangga ke kiri. Sebuah ruangan yang berisi aneka macam alat musik tradisi Bugis-Makassar. Coba saya ingat lagi, selain berisi gendang dan kecapi, ada juga beberapa pakaian adat lainnya. Lagi-lagi saya hanya melihat dari luar dan tidak memberanikan diri masuk mengelilingi ruangan ini. Saya lanjutkan untuk meniti anak tangga agar sampai ke ruangan paling besar di Museum Kota Makassar. Cukup banyak kursi yang berjejer di ruangan ini. Kursi ini membentuk persegi. Pikir saya, mungkin ini adalah ruang pertemuan pengelola museum. Tapi kenapa begitu banyak? Pengelola museum yang saya lihat tadi tidak sebanyak jumlah kursi ini. Dari kejauhan secara samar saya melihat sebuah tulisan yang memberitahukan bahwa dulunya ruangan ini adalah ruang kerja Walikota Makassar. Saya lupa dari tahun berapa.

Sejajar dengan bekas ruang kerja Walikota Makassar, terdapat sebuah lorong yang menyerupai ruangan. Tidak begitu besar, lebih kecil dari ruangan pertama. Tiba-tiba saja saya sudah mulai berjalan mencapai lorong itu. Sekitar empat meter jaraknya. Inilah hal paling membekas di benak saya. Sebuah peringatan keras dan secara sadar harus segera keluar dari museum ini! Coba bayangkan, saya mendapati begitu banyak manekin berjejer di sepanjang lorong itu. Setiap manekin ditaruh pada sebuah lemari kaca, seperti akuarium. Selayaknya pameran manekin yang mengenakan pakaian adat Sulawesi Selatan dan semua matanya mengarah kepada saya.

Hei, tunggu dulu! Ke mana orang yang memiliki sepasang sepatu di bawah tadi? Saya tidak menemukan sesosok orang pun. Jangan-jangan sepasang sepatu itu memang tidak ada pemiliknya. Atau jangan-jangan pemilik sepasang sepatu itu telah berubah wujud menjadi salah satu manekin! Lebih konyol lagi, saya berpikir kalau semakin lama atau terlambat sepersekian detik keluar dari lorong itu maka perlahan tubuh saya berubah jadi manekin dan menjadi objek pameran.

Tentu saja saya selamat. Sebab kalau tidak, saya tidak mungkin menuliskan hal ini sekarang. Sesampainya di halaman saya bertemu dengan seorang pengelola museum. Sialan! Umpat saya, pengelola ini malah melempar senyum sumringah ke arah saya. Seakan senyumnya itu mengejek dengan sukses pada wajah was-was saya. Senyum pengelola itu juga secara bersamaan memberitahukan, “Untung saja anda sebagai pengunjung. Bandingkan saya yang hampir setiap hari berada di gedung angker ini! Pasti anda malas membayangkannya.”

Saya gagal mengusik Museum Kota Makassar di pagi hari. Malah saya yang kena usik darinya sedari awal di dalam gedung itu. Kapan-kapan saya akan kerjasama dan ajak teman untuk kena usik juga darinya. Dan lebih memilih untuk tidak seorang diri ke museum lain waktu.[]

(Rahmat Arham, @rahmatarham, mahasiswa di Bandung asal Makassar)

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (181 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


Tags: Museum Kota Makassar,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


seven − = 3

You may use these HTML tags and attributes: