Mari Mengobrol Tentang Losari

Satu sunset yang indah di Losari ; foto by: daenggassing.com

Pantai Losari menyimpan banyak kenangan, tapi perlahan kenangan-kenangan itu mulai dihapus oleh megaproyek yang mungkin saja bernuansa politis. Berikut adalah catatan singkat tentang Obrol Losari yang digelar Makassar Nol KM dengan beragam pihak tanggal 8 September yang lalu.

Tubuhnya masih tegap di usianya yang ke 70, meski berhelai-helai rambut sudah mulai rontok dari kepalanya. Ikat pinggang tebal dengan tulisan sebuah merk jeans terkenal melekat di pinggangnya. Blue jeans berpadu dengan kemeja lengan panjang. Dia terlihat rapih dan menawan.

Namanya Willy Ferial, orang lebih mengenalnya dengan sebutan Opa. Nama yang selalu dipakainya setiap kali menyiar di radio Telstar. Pagi itu dia hadir memberikan testimoni dan kenangan tentang Losari dalam acara Obrol Losari yang digagas Makassar Nol Kilometer bersama banyak pihak dengan ragam latar yang berbeda.

Opa bercerita bagaimana Losari di tahun 50-60an bukanlah apa-apa. Dia hanya segaris pantai yang di ujungnya ada pelelangan ikan, pantai yang dipakai warga untuk membuang hajat sambil bertukar cerita. Belakangan Losari mulai dilirik orang ketika banyak pendatang yang sadar kalau sunset dari tepian Losari ternyata indah. Pelan-pelan Losari berubah menjadi sebuah ikon wisata di kota Makassar.

Opa berkisah tentang Losari jaman dulu ; foto by: @vbyutami

Tahun ke tahun Losari terus berubah. Dari sebuah garis pantai yang tak ada apa-apanya menjadi sebuah pusat keramaian baru. Kemudian hadir banyak pedagang kaki lima di sana, membuat Losari disebut sebagai restoran terpanjang di dunia. Bagaimana tidak, ada ratusan pedagang makanan dan minuman yang berjejer di pantai sepanjang kurang lebih 2 KM ini.

Losari memang tidak pernah ada dalam catatan sejarah panjang kota Makassar. Setidaknya tidak ada catatan khusus tentang pantai itu. Dia hanya pantai biasa yang kemudian karena modernisasi berubah menjadi sebuah tempat yang ikonik di kota Makassar. Itu yang disampaikan oleh pak Dias Pradadimara dan pak Nandar, dua orang akademisi yang konsen para sejarah kota dan kebetulan juga hadir pada acara Obrol Losari di hotel MGH itu.

Meski tak ada sejarah panjang, namun perlahan Losari hadir dalam catatan perjalanan kota Makassar. Losari menjadi ruang publik milik jutaan warga kota. Di punggungnya para warga bertukar cerita, bertukar informasi dan saling bertukar kenangan. Tentu dengan latar sunset yang indah di luar Losari. Losari jadi milik banyak orang.

Itu juga yang membuat banyak orang resah ketika melihat apa yang terjadi di Losari. Awalnya hanya pedagang yang dipindah ke Jl. Metro Tanjung Bunga dan kemudian ke pantai Laguna. Akhirnya mereka mati satu persatu. Hilang sudah kenangan tentang Losari yang disebut sebagai restoran terpanjang di dunia itu.

Selanjutnya hadir anjungan Losari. Bukan cuma satu, tapi tiga sekaligus. Proyek ini bukan tanpa perlawanan. Sudah ada pihak-pihak yang mempertanyakan tentang proyek yang katanya untuk memperindah Losari ini. Yang melawan tak bisa berkata apa-apa, proyek jalan terus. Satu anjungan sudah bertahun-tahun dinikmati warga, dua lagi sedang dalam pekerjaan.

Opa Willy Ferial mengaku mencintai kota Makassar meski dia juga mengaku kalau cintanya perlahan-lahan mulai terenggut. Dia mungkin sedih melihat Losari yang benar-benar sudah berubah dan perlahan menghilangkan romantisme Losari yang dia kenal.

Opa juga mengaku kaget ketika tiba-tiba ada sebuah masjid yang tak pernah ada dalam perencanaan hadir di satu titik pantai Losari. Tapi dia mungkin lebih sedih ketika tahu kalau ada satu megaproyek yang sedang dibangun di atas tubuh Losari. Center Point of Indonesia (CPI) namanya. Proyek ratusan miliar rupiah yang dikemas sebagai sebuah proyek monumental di kota Makassar.

Tanpa ada perencanaan yang transparan, analisa dampak lingkungan, dan aroma politis, proyek CPI terus digulirkan. Puluhan hektar laut di pantai Losari akan ditimbun untuk megaproyek ini. Reklamasi namanya. Kita selalu bertanya, pentingkah reklamasi itu? Pentingkah CPI itu untuk kota Makassar? Seluruh peserta Obrol Losari sepertinya juga menyimpan pertanyaan yang sama.

Saat ini Losari masih bisa kita nikmati dengan nyaris gratis. Sunset-nya yang indah masih bisa kita rekam sebanyak yang kita mau. Tapi, siapa yang bisa menjamin suatu hari nanti Losari tidak akan jadi sebuah tempat yang mahal? Yang bahkan untuk menikmati sunsetnya saja harus mengeluarkan lembaran rupiah. Siapa yang bisa menjamin suatu hari nanti kita hanya akan melihat hutan beton yang menghalangi pandangan kita pada sang matahari yang beranjak pulang itu. Belum lagi tentang warga pesisir yang mungkin harus diusir karena dianggap tak layak bersanding dengan megaproyek itu.

Mumpung Losari masih bisa kita nikmati, mari mengobrol tentang Losari. Mari mengorek kenangan tentang pantai itu, seperti para peserta Obrol Losari yang menempelkan kertas kecil berisi kenangan mereka di atas peta Losari.

Para peserta Obrol Losari membagikan kenangan tentang Losari ; foto by @iPulG_

Mari menyumbangkan kenangan teman-teman tentang Losari. Tuliskan kenangan dan opini anda tentang Losari, kirimkan kepada kami melalui surel [email protected]. Teman-teman yang punya foto kenangan tentang Losari jaman dulu, jangan hanya disimpan. Kirimkan juga kepada kami. Mari kita mengobrol panjang tentang Losari yang mungkin beberapa tahun lagi akan berubah.

Losari milik kita semua, mari mengumpulkan kenangan tentangnya.

( @iPulG_ ; blogger Makassar, pemilik blog http://daenggassing.com )

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (176 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


Tinggalkan Komentar