Lewat Permainan Tradisional, Mereka Memprotes

Bermain di MTGF 2013

Tanpa mereka sadari, kegiatan bersenang-senang lewat Makassar Traditional Games Festival sesungguhnya adalah bentuk protes terhadap perkembangan kota yang semakin tak manusiawi.

Minggu 27 Oktober 2013 atau sehari sebelum peringatan hari Sumpah Pemuda, Benteng Somba Opu tiba-tiba kembali ramai setelah hari-harinya lebih banyak dihabiskan berkawan dengan sepi. Ratusan orang berkerumun di sana, mengelilingi beberapa arena permainan tradisional. Kalau lazimnya permainan tradisional dinikmati anak-anak kecil, hari itu berbeda. Penikmatnya justru orang-orang yang tidak bisa disebut sebagai anak-anak lagi.

Mereka adalah orang-orang dewasa yang hari itu bertekad mengenang kembali masa ketika mereka belum akil baliq, masih berkulit legam terbakar matahari dan mungkin dengan bekas ingus di bawah hidung mereka. Ragam permainan yang mendekati kepunahan itu seperti mantra yang memanggil kenangan masa kecil mereka. Dan tanpa bisa menolak mereka terkena mantera dan tidak bisa menolak hasrat untuk kembali memainkan permainan masa kecil mereka.

Suasana itu adalah rekaman keriuhan Makassar Traditional Games Festival atau disingkat MTGF. Tahun ini acara yang digagas komunitas Jalan-Jalan Seru Makassar seperti mengulang keberhasilan pelaksanaan MTGF setahun sebelumnya. Tempatnya sama, hanya tanggalnya yang berbeda sehari.

Entah siapa yang memulai, tapi ide menggelar kembali permainan tradisional di masa ketika permainan digital menjadi raja adalah ide yang segera disambut banyak orang. Persis seperti mantra yang secara mistis menggerakkan kenangan-kenangan dan kerinduan pada masa kecil yang indah. Tahun lalu semua berjalan spontan dan nyaris tanpa rencana matang. Meski begitu, gelaran MTGF tahun lalu termasuk fenomenal karena berhasil menyedot perhatian banyak orang, termasuk media yang selama ini lebih tertarik memberitakan kerusuhan dan demonstrasi mahasiswa.

Tahun ini pelaksanaan MTGF terlihat lebih siap. Sejak berbulan-bulan sebelumnya anak-anak muda di Jalan-Jalan Seru Makassar sudah meluangkan waktu untuk mempromosikan acara ini. Salah satunya adalah menggelar simulasi permainan tradisional di dekat fly over yang jadi salah satu titik keramaian, serupa bundaran HI di Jakarta.

Mereka melakukannya hanya dengan maksud mempromosikan acara MTGF, tapi tanpa mereka sadari aksi itu sebenarnya adalah sebuah protes. Minimal sebuah sindiran. Kota Makassar diklaim sebagai kota dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia. Hasil nyatanya terlihat di kota ini. Makassar perlahan tapi pasti berubah jadi kota yang memberhalakan benda-benda dan proyek megah berharga miliaran rupiah. Senti demi senti ruang publik direnggut, tergantikan oleh bangunan megah dan dingin. Ruang yang tersisa dijejali iklan politik yang memualkan.

Ruang-ruang yang semakin berkurang itu ikut mengerucutkan pilihan menghabiskan waktu. Anak-anak tidak bisa lagi bermain enggo’, bermain dende, bermain boi, atau permainan-permainan tradisional lainnya yang dulu dimainkan generasi sebelum mereka. Gempuran permainan-permainan yang lebih modern dengan perangkat elektronik sebagai senjatanya masuk ke ruang-ruang privat, ruang keluarga dan bahkan ruang tidur anak-anak kita. Karena tak ada pilihan lain, terjebaklah mereka pada permainan yang menghilangkan kemampuan mereka untuk bersosialisasi, bermain secara tim dan bergerak secara konstan.

Bermain santo

Apa yang dimainkan anak-anak Jalan-Jalan Seru Makassar dan ratusan orang lainnya di Benteng Somba Opu tanggal 27 Oktober kemarin sejatinya adalah protes terhadap hilangnya ruang-ruang publik di kota ini. Tanpa mereka sadari cara mereka mempromosikan permainan tradisional di tepi jalan raya di bawah fly over adalah sebuah protes keras dan sindiran maha dahsyat untuk para tuan besar pengatur kota ini.

Suburnya permainan modern yang menenggelamkan romantisme permainan tradisional adalah bukti lain dari penghambaan kota terhadap modernitas yang makin menenggelamkan sisi manusiawi sebuah kota. Hilangnya permainan tradisional hanya satu contoh, tanpa menunggu lama aspek lain kehidupan pasti akan ikut tergerus.

Ketika anak-anak dari komunitas Jalan-Jalan Seru Makassar dan ratusan anak-anak muda lainnya bermain di Benteng Somba Opu, mereka hanya tahunya bermain, bersenang-senang dan mengingat kembali keceriaan masa kecil. Tapi seperti bom benang yang digelar komunitas Qui-Qui, Makassar Traditional Games Festival sesungguhnya adalah sebuah aksi protes keras. Protes pada kota yang semakin mengasingkan warganya, menggerus ruang publik dan membiarkan warganya bertarung dengan cara para kapitalis. Tentu dengan meminggirkan rasa manusiawi.[]

Bagikan Tulisan Ini:

iPul Gassing (8 Posts)

Blogger pada DaengGassing.com | senang mencatat dinamika kota | sedang belajar menulis yang baik dan benar | berkicau aktif di twitter | Penggemar buta Pearl Jam | senang menggambar dan mencorat-coret | sesekali motret


Tinggalkan Komentar