Jam digital bandara Sultan Hasanuddin sudah menunjukkan angka 12.45 dini hari saat saya keluar dari gerbang kedatangan. Ada rasa rindu akan kota ini. Beberapa bulan belakangan saya hanya dapat menonton Makassar dari televisi: sebuah kotak elektronik yang mendefinisikan Makassar dengan seleranya sendiri.
Saya sengaja singgah di kota ini. Beberapa bulan terakhir, tontonan yang saya ‘nikmati’ benar-benar memaksa saya mengasosiasikan kata “Makassar” dengan frase-frase “geng motor”, “bentrok”, dan “aksi anarkis (tolak kenaikan harga BBM)”. Dulu, saat masih menjadi mahasiswa di Kota Daeng, frase itu saya pahami dengan makna yang sama sekali berbeda. Tapi sejak menjadi konsumen televisi dan berita internet saya mulai mengerti bagaimana rasanya menjadi “outsider”, penonton, dan komentator. Sungguh mengasyikan—juga mengerikan.
Hampir 10 menit berlalu. Saya sudah berada di atas mobil jemputan. Keluar dari jalan masuk bandara, memasuki Jalan Perintis Kemerdekaan, di daerah Pasar Daya mobil yang saya tumpangi harus berbelok ke arah Paccerakang. “Masih na blokir ki jalan sama anak UKIP (Universitas Kristen Paulus), coy,” jelas teman yang menjemput.
Seketika saya kaget. Hampir sepertiga malam dan mahasiswa masih memblokir jalan. Dari mana datangnya energi itu? Saat ratusan juta masyarakat Indonesia sudah tidur nyenyak menyambut rutinitas hariannya, para mahasiswa ini masih bertahan di jalanan. Menyuarakan protes. Mengambil partisipasi politik non-parlementariatnya.
Belum sampai 10 menit di sini, posisi ‘menonton’ saya berubah, dari sebuah realitas yang ditawarkan televisi dan gadget menuju realitas sebuah jendela mobil yang harus berputar arah. Dari sudut jendela mobil, saya berpikir bahwa definisi kita tentang kota ini begitu ditentukan oleh cara kita menikmati jalanannya. Dari sudut ini, saya memahami kalimat Galbraith tentang “strategi keinginan”-nya “tidak mudah menyesuaikan diri dengan kelimpahruahan”.
**
Lusanya, di malam ketika kenaikan BBM tinggal menunggu menit, saya bersama beberapa teman sedang menikmati malam di kampus Unhas. Sebuah pesan singkat berisi ajakan aksi penolakan kenaikan harga BBM masuk. Bagi saya, pesan itu lagi-lagi terlihat sebagai ajakan untuk menikmati jalanan dengan cara yang berbeda. Sebuah provokasi untuk kembali menyadarkan saya bahwa saya memiliki hak politik untuk protes, untuk tidak setuju dengan keputusan pemerintah yang tidak menyelesaikan masalah rakyatnya.
Maka pergilah saya ke titik aksi: depan Pintu Nol Unhas. Di sana sudah ada ratusan anak muda dengan segala atribut protes mereka. Dari jauh, saya merasakan gairah bertebaran di udara.
Para demonstran yang katanya gabungan dari kampus-kampus se-Tamalanrea mulai memblokir jalan. Ruas jalan dari arah kota ke bandara ditutup. Antrean kendaraan perlahan mengular. Dalam hitungan menit, kemacetan sudah mencapai daerah MTos. Sementara, satu demi satu para pimpinan organ mulai berorasi, bernyanyi, dan beryel-yel.
Saya hanya duduk di jalanan. Bersama kawan-kawan lama yang ternyata datang untuk turut aksi bersama. Kami duduk bercengkrama. Di jalanan antara Pintu Nol dan Pintu Satu yang lengang. Sambil sesekali turut berteriak “hidup rakyat!” atau “turunkan SBY!” saat para orator menyemangati massa aksi.
Kendaraan makin mengular panjang. Seorang teman memberitahu bahwa kemacetan sudah sampai daerah Kodam VII Wirabuana. Di titik aksi, kendaraan diarahkan untuk masuk ke Pintu Nol Unhas dan keluar dari Pintu Dua. Sementara kendaraan dari arah Bandara ke Kota, sudah padat merayap.
Saat mengecek media sosial, kicauan keluhan soal jalanan Perintis Kemerdekaan yang lagi-lagi macet seolah seimbang dengan twit-twit yang berkata “wah, akhirnya Unhas turun ke jalan juga”. Juga ucapan lawas yang tetap khas seperti “Panjang umur perjuangan!”.
Tapi setelah beberapa menit mengecek media sosial, saya memutuskan untuk menutupnya. Komentar kelas menengah di jejaring sosial bisa membuat ritual menikmati jalanan saya terganggu.
Ritual menikmati jalanan adalah cara terbaik untuk sungguh-sungguh memperhatikan seluruh representasi kelimparuahan kehidupan. Urat nadi kota. Sebagaimana David Harvey, seorang antropolog dan ahli geografi kenamaan, telah mengingatkan kita bahwa betapapun kota merupakan dunia yang diciptakan manusia, nyatanya kota adalah juga tempat hidup yang paling ia kutuk.
Saat itu, saya hanya ingin menikmati 100 meter jalanan yang lengang dari mesin-mesin. Hanya ada manusia-manusia yang menyuarakan protes, menikmati jalanan kota yang tidak pernah menawarkan keramahan. Juga merayakan kerumitan hidup, mengutuki sampah visual yang memenuhi jalanan dan banyak hal keren dari jalanan yang tidak lagi kita nikmati.
Dari layar kristal cair, jendela mobil, dan kini berada sebagai subjek-sekaligus-objek tontonan membuat definisi saya tentang Makassar kembali berubah. Sesuatu yang sama sekali berbeda saya rasakan di jalanan ini. Kemacetan panjang menjadi cara bagi para demonstran untuk memaksa para pengguna jalan untuk benar-benar sadar bahwa sudah sebegitu tergantungnya kita pada mesin-mesin; sebegitu terburu-burunya kita hingga tak pernah benar-benar menikmati kota dengan gerakan lambat; atau bahkan sebegitu tidak pedulinya kita dengan keputusan-keputusan strategis negeri ini, dan pasrah sambil mengeluh.
**
Ada seorang teman yang mengatakan, “Lalu jika kalian tutup jalan, ada yang berubah? BBM bisa batal naik?”
Ya, ada yang berubah. Jalanan hingga saat ini masih menjadi ruang publik yang memiliki daya politis paling besar. Tengok Yunani, Arab Spring, Turki, dan kini Brazil. Semuanya tumpah ruah di jalanan. Konteksnya berbeda. Namun substansinya sama: mereka menggunakan jalanan sebagai instrumen protes. Mereka menolak untuk taat pada kesewenang-wenangan, pada keputusasaan atas keputusan-keputusan yang menyangkut hak hidup mereka.
“Apakah harus dengan demonstrasi?”
Tidak juga. Namun hari ini hanya jalananlah yang menyisakan pressure politik paling murni. Tidak menghiba-hiba pada politik representatif yang tuli. Seorang senior yang tengah sekolah di Jepang mengabarkan bahwa di Kyoto, 6 orang berdemo, pemerintah panik. Polisi yang berjaga 50-an personil, plus 4 mobil patwal, 2 voorrijder, 1 unit ambulans siap siaga. Hak publik atas jalanan disambut oleh negara yang responsif.
Di sini, aksi para pemrotes di jalanan adalah reaksi atas ketulian institusi-institusi negara. Polisi sebagai perwakilan materil negara kemudian hadir untuk merepresi. Negara akhirnya memaksa kita untuk mengomsumsi semua ke(tidak)bijakannya. Mengomsumsi data-data dan statistika yang kita tidak tahu datang dari mana. Menelan mentah-mentah iklan televisi dan debat parlemen yang penuh pura-pura. Lalu tibalah pada titik yang dirumuskan Habbermas sebagai “peralihan dari publik dengan Budaya-Debat (kulturrasionierend) menjadi publik dengan Budaya-Konsumeristik”.
Dengan budaya konsumeristik yang tengah kita anut sekarang, jalanan, kemacetan dan protes lalu menjadi sesuatu yang tidak lagi mengasyikan. Protes jalanan yang menyangkut masalah ratusan juta rakyat kemudian terdomestifikasi menjadi masalah yang sangat personal: soal janji kita yang batal, soal kencan malam minggu yang gagal, soal panasnya cuaca, dan soal-soal lain yang seolah terbenarkan secara ‘ilmiah’.
**
Hari sudah hampir tengah malam. Dari SMS berantai, katanya harga BBM sudah melenggang naik seperti asap ban yang dibakar para demonstran.
Saya sadar bahwa saya tidak melakukan apa-apa untuk menggagalkan kenaikan harga BBM ini. Kebijakan itu seperti Goliath dan saya hanya sehelai rambut Daud. Jalanan Pintu Nol dan Pintu Satu perlahan di buka. Para demonstran yang katanya akan bertahan hingga lepas malam akhirnya membubarkan diri lebih cepat. Saya dan teman-teman pulang dengan perasaan kosong dan kalah. Betapa negara ini terus menerus memreproduksi ketidakpedulian.
Dan pada 100 meter jarak Pintu Nol – Pintu Satu saya sadar bahwa jalanan masih saja milik mesin dan uang.[]