Kesehatan Mental Kota Kita

DK Halim dalam bukunya ‘Psikologi Perkotaan’ (2008) menyebutkan, kesehatan mental warga kota tidak hanya berhubungan dengan karakteristik individu dan rumah tangga, tetapi juga dengan fitur-fitur sosial, konteks, dan ekologi di mana individu berada.

Perencana kota di Indonesia masih sedikit yang memberi perhatian pada aspek psikologi sebagai penentu kebijakan perencana kota. Lingkungan fisik yang hadir di kota justru hanya menjadi beban bagi warga, sehingga kota menjadi tidak sehat secara mental untuk warganya.

Akibatnya, agresivitas dan stres masyarakat perkotaan bisa muncul begitu saja. Dalam hal demikian, kota telah menjadi pemicu stres  [stressor] bagi masyarakat. Kota telah menjadi kekuatan eksternal untuk menciptakan rasa stres dalam diri masyarakat. Maka bukan suatu yang mengherankan bila kasus-kasus kriminal seperti perkelahian dan tawuran marak terjadi di perkotaan–mungkin termasuk di Makassar.

Kota sehat menurut WHO ialah kota yang secara terus-menerus menciptakan dan meningkatkan lingkungan fisik dan sosial, serta mengembangkan sumber daya masyarakat, sehingga memungkinkan warganya untuk satu sama lain saling mendukung dalam menyelenggarakan semua fungsi kehidupan dan mengembangkan potensi maksimal mereka.

WHO mengidentifikasi sebelas kualitas sebuah kota dikatakan sehat (DK Halim, 2008). Pertama, sebuah lingkungan fisik yang bersih, aman, dan berkualitas tinggi; Kedua, sebuah ekosistem yang stabil dan berdaya dukung (sustainable) untuk kehidupan jangka panjang; Ketiga, sebuah komunitas yang kuat, noneksploitatif, dan saling mendukung satu sama lain; Keempat, memiliki tingkat partisipatif dan kontrol publik yang tinggi terhadap kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi hidup, kesehatan, dan kesejahteraan warganya; Kelima, adanya pemenuhan kebutuhan dasar (makanan, air bersih, hunian, keselamatan, penghasilan, dan pekerjaan) untuk semua warga kota; Keenam, adanya akses yang luas kepada pengalaman hidup dan sumber daya kota dengan berbagai kesempatan terhadap kontak sosial, interaksi, dan komunikasi; Ketujuh, ekonomi kota yang inovatif, vital, dan beragam. Kedelapan, adanya dorongan untuk selalu berhubungan dengan sejarah, warisan biologis, dan warisan budaya warga kota, serta kelompok-kelompok komunitas masyarakat lainnya; Kesembilan, kompatibel dan mampu meningkatkan karakteristik kota yang telah ada; Kesepuluh dan kesebelas, adanya pelayanan optimum terhadap kesehatan masyarakat yang layak bagi semua warga yang sakit, serta memiliki status kesehatan yang baik (tingkat penyakit rendah).

Lingkungan kota kita belum sepenuhnya memenuhi klasifikasi kota sehat sebagaimana yang dimaksudkan di atas. Pembangunan Kota Makassar beberapa tahun terakhir sibuk bersolek membangun citra sebagai sebuah kota maju. Proyek-proyek mercusuar dan ambisius secara fisik dirancang sedemikian rupa. Sedangkan program-program sosial dan ekonomi masih timpang sana-sini; jurang ketidakadilan masih menganga lebar.

Keberlanjutan daya dukung dan daya tampung lingkungan Kota Makassar juga masih perlu dipertanyakan. Aspek ekologis, seperti bencana hidrometeorologi, belum menjadi isu yang diarusutamakan dalam pembangunan kota. Padahal, tanda-tanda bencana lingkungan itu sudah jelas-jelas kita rasakan bersama. Salah satu misalnya banjir perkotaan yang sangat meresahkan warga setiap musimnya.

Kita tidak tahu, apakah suatu saat Makassar akan mengalami nasib yang sama dengan Kota Jakarta? Suatu saat akan muncul wacana memindahkan ibukota Sulawesi Selatan?

Pemilihan walikota yang sudah dekat menjadi pertaruhan ke mana arah pembangunan Makassar lima tahun mendatang. Masyarakat harus pandai memilah hingga memilih walikota yang tidak hanya berambisi membangun citra fisik kota semata, melainkan yang lebih utama ialah membangun manusia-manusia kota yang berdaya. Saya selalu ingat kutipan yang sering dilontarkan seorang dosen,  Profesor Bambang Heryanto, kota yang kita impikan bukanlah kota yang ‘tampak’ lebih baik, melainkan kota yang ‘bekerja’ secara baik.[]

(Fitrawan Umar, @FitrawanUmar, pemerhati lingkungan dan perkotaan)

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (171 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


Tinggalkan Komentar