Kenangan tentang Dua Pasar

Bulan Oktober ini kami banyak menampilkan tulisan tentang pasar lokal di kota Makassar. Berikut ini adalah dua buah tulisan tentang pasar yang disumbangkan oleh dua orang warga Makassar. Keduanya punya benang merah yang sama, kenangan indah tentang dua pasar di kota Makassar, Pasar Sentral dan Pasar Senggol. Berikut adalah kisahnya.

Pasar Sentral, dari yang rimbun sampai yang dilalap api.

Seperti membuka lembar lembar buku lama yang kuning dan usang, begitu pula saya mencoba mengingat kembali kenangan tentang Pasar Sentral, pasar terbesar sekitar tahun 80-an. Menurut cerita, pasar ini dulunya disebut pasar Cina karena memang letaknya yang dekat dengan kawasan pemukiman etnis Tionghoa di Makassar.

(baca juga jejak budaya Tionghoa di Makassar, red)

Pada masa pemerintahan walikota Kolonel HM. Daeng Patompo (1965-1978) pasar yang sebelumnya berada di daerah Jl. Lombok dipindahkan ke Jl. Irian dengan kawasan yang lebih luas. Namanyapun kemudian ditetapkan sebagai Pasar Sentral. Pasar ini jugalah yang menjadi pusat denyut nadi kehidupan kami sekeluarga waktu itu.

Sampai sekarang Jl. H. Agus Salim masih terekam jelas di kepala. Toko Dua-Dua, toko kelontong yang dikelola oleh papa bukanlah toko yang besar. Dua-dua sebagai gambaran anak papa dan mama sebelum saya lahir. Dua anak laki-laki dan dua anak perempuan.

Karena tepat berhadapan dengan Jalan H. Agus Salim menjadikan saya akrab dengan suasana Pasar Sentral ini. Saya ingat bahwa saat siang hari merupakan waktu yang menyenangkan. Setiap hari sepulang sekolah saya menghabiskan waktu di toko milik Papa sebelum pulang ke rumah dan menantikan guru les di sore hari.

Pasar Sentral yang dulu sangat berbeda keadaannya dengan sekarang. Masih sangat lengang dan penuh dengan pohon-pohon di sisi jalan. Kadang saya malah berpikir, kapan bersihnya tanah sisi jalan ini. Pohon ini senantiasa menggugurkan daunnya menjadikan humus alami yang membuatnya bisa bertahan. Sejuk! Itu yang membuat saya betah, bahkan di siang yang panas pun suasana tetap menyejukkan.

Hal yang menyenangkan juga adalah kekeluargaan yang sangat terasa tanpa melihat perbedaan etnis, para pedagang yang berada di sekitar toko kami itu sudah seperti saudara. Saya berani berkata begitu karena setiap saya mampir ke toko tetangga pasti selalu saja ada buah tangan yang saya bawa pulang. Celengan ayam, kue-kue kecil atau permen, tidak ada alasan saya tidak menyukai pasar ini.

Saya yakin hubungan sosial ini tidak terjadi dengan sendirinya. Papa adalah orang yang sangat dermawan, selalu peduli dengan orang lain apalagi yang lagi kesusahan. Mama walaupun perhitungan tapi cara dia berkomunikasi dan memperlakukan orang membuat orang lain merasa ‘ada’. Tak keliru kalau manfaatnya malah jatuh ke kami, anak-anaknya.

Toko yang seharusnya jadi daerah yang diperuntukkan khusus untuk pelanggan, dijadikan jalan umum oleh papa, menyerupai lorong atau akses. Walaupun kesannya mengorbankan kepentingan pribadi tapi sekarang baru saya sadari, itu rupanya memberi peluang bagi orang untuk singgah berbelanja di toko. Apakah ini memang disengaja atau tidak saya sama sekali tidak paham. Tetapi dengan begitu “jalan alternatif” yang dibuat papa menjadikannya dikenal di kalangan orang pasar. Bahkan sekedar untuk menitip barang, orang rela singgah di toko kami.

Hal yang paling menyedihkan ketika suatu subuh, saya sudah tidak ingat lagi kapan tepatnya. Berita tentang pasar Sentral yang terbakar menyebabkan Papa harus ke sana dengan tergesa-gesa di jam 2 pagi. Pulang dengan lunglai, sudah menggambarkan keadaan yang terjadi saat itu. Sedih rasanya melihat papa yang seperti kehilangan harapan. Kami bukan keluarga besar yang punya tempat lain untuk berharap. Tapi saya pun tidak mengerti, mengapa musibah kebakaran itu bisa terjadi.

Berbagai sebab-sebab yang cenderung spekulatif juga terdengar di sana sini, apa boleh buat, semuanya sudah terjadi. Kami pun harus berpikir kembali untuk melanjutkan kehidupan keluarga kami.

Pasar yang menjadi tempat bermain saya, tempat kami menjalin kehidupan sosial harmonis, ludes oleh lidah api yang tanpa belas kasihan.

Sudah pasti pasar yang habis terbakar akan dibangun kembali. Tapi lihatlah, tidak adalagi pohon tempat saya berteduh dan bermain sesuka hati, menantikan daun-daun yang gugur bagai hujan buatan yang berwarna coklat muda.

Alam seakan meninggalkan pasar itu, tergantikan oleh batu-batu yang kokoh yang dengan angkuhnya membuat batasan sosial. Saya rindu pasar Sentral yang dulu, pasar yang seharusnya menjadi wahana silaturahmi hati, sambil saling memberikan manfaat satu dengan yang lain.

Suasana pasar Senggol (foto: Tribun Timur)

Bersenggolan di Pasar Senggol

Pasar yang berada dalam rute Jalan Cendrawasih ini memiliki banyak nama; dari Pasar Sambung Djawa, Pasar Cendrawasih hingga Pasar Senggol. Tapi, pasar ini lebih sering dikenal sebagai Pasar Senggol . Disebut Pasar Senggol mungkin karena pasarnya tidak luas dan lorong masuknya yang sempit menyebabkan orang yang lalu lalalng biasa bersenggolan jika lewat.

Latar belakang pasar Senggol bisa dibaca di laman kami: Pasar Senggol Makassar ; Red

Nyaris 14 tahun tidak pernah menginjakkan kaki ke pasar ini, namun saya tak pernah lupa potret wajah pasar tradisional yang satu ini.

Semua dimulai jam 6 pagi ketika pasar ini mulai menggeliat . Para penjual beras berjejer di dekat pintu pasar. Beberapa pedagang lainnya membuka lapak di depan pintu masuk, berharap dapat membujuk beberapa pembeli yang tertarik dengan barang-barang seperti dompet dan hiasan murah meriah .

Masuk ke dalam pasar, pembeli akan disergap dengan aroma campur aduk khas pasar tradisional. Ini belum termasuk para penjual sayuran yang berlomba menjejalkan telinga pembeli dengan teriakan khas “ Mariki’ Sambalu” atau jika pembeli telah menginjakkan kaki di daerah yang becek dengan penerangan seadanya untuk melihat jualan ikan hasil tangkapan nelayan yang diciprat air tak henti-hentinya oleh para penjual ikan yang berteriak “Ooooiiiii ….Mairo..Bolu…Lolosi”.

Yah pasar ini mungkin bukan tempat menjual ikan yang paling murah atau segar, namun jika mengingat pasar lelang yang dahulu sebelum pasca renovasi baunya membuat rontok semua stamina, membeli ikan di pasar Senggol merupakan alternatif tempat belanja favorit bagi para ibu-ibu. Yah, setidaknya ibuku.

Setelah menunjukkan jam 14.30 para penjual mulai pindah dari dalam pasar dan menyulap jalanan di depan pasar menjadi pasar sore, dan bukan hanya penjual ikan, daging, sayur, bumbu yang membuka lapak. Penjual pakaian, sepatu, alat-alat rumah tangga bahkan boneka tak ketinggalan mulai mengatur lapak mereka di sepanjang jalan menuju pasar inti. Selain harga yang murah, bisa di tawar semiring mungkin, barangnya juga lumayan bagus asal pembeli cerdas dalam memilih.

Sehabis ashar sekitaran jam empat sore, sepanjang bagian luar pasar dipenuhi lapak penjual kue-kue tradisional yang di jajakan oleh ibu-ibu setengah baya. Salah satu kue favoritku adalah kueputu cangkir yang terbuat dari tepung beras ketan, gula merah dan parutan kelapa. Benar-benar nikmat disantap saat masih hangat, sambil duduk di bangku khusus yang disediakan sambil memandang orang lalu lalang di dalam pasar.

Hingga malam pasar ini tetap ramai, bahkan terkadang terdapat penjual obat yang bisa menyembuhkan segala macam masalah wajah, dengan label seperti merk yang cukup terkenal waktu aku kecil.

Masa kecil yang sering menemani ibu belanja membuat ingatanku lekat dengan kondisi Pasar Senggol pada waktu akhir tahun 90-an. Sayangnya setelah hijrah ke daerah Minasa Upa ibu dan aku tidak pernah lagi menginjak pasar Senggol.

Kabarnya sekarang pasar tradisional ini rentan dengan perkelahian kelompok. Beberapa hasil penelusuran dari berita online, baru-baru ini pasar senggol telah dilalap si jago merah. Semoga saja ini bukan ulah tangan-tangan oportunis yang ingin merubah wajah pasar tradisional ini.

Kehadiran pasar tradisional ini selain memberikan nafas bagi para pedagang menengah untuk mengais rejeki, kehadiran pasar senggol juga dapat memberikan warna tersendiri dari kondisi kawasan cendrawasih yang telah penuh dengan ruko.

Bagaimanapun pasar lokal (atau orang sering menyebutnya sebagai pasar tradisional) adalah tempat di mana silaturahmi dan interaksi hangat antar warga yang menjadi pembeli serta warga yang menjadi pedagang terjalin. Proses tawar menawar tentu lebih hangat dari sekadar senyum manis yang kadang terasa dingin dari pramuniaga dan kasir di pasar modern.

Cerita tentang pasar Sentral adalah tulisan dari Mamie; warga Makassar, blogger di http://alwaysmamie.com dan pemilik akun twitter @alwaysmamie

Cerita tentang pasar Senggol adalah tulisan dari Sri Haryani Buna atau akrab disapa Sribuna. Pemilik blog http://sribuna.com dan pemilik akun twitter @sriereeves

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (172 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


One response on “Kenangan tentang Dua Pasar

  1. Saya biasanya tiap tahun ke pasar Senggol sejak 6 tahun yl. Sy suka mencari baju anak2 di sana. Harganya murah. Bahkan ada baju2 sulung saya (sekarang usia sulung saya 11 tahun) yang dibeli 6 tahun yl di sana, sekarang masih bisa dipakai oleh bungsu saya (usianya 3 tahun). Lumayan kan, murah dan bahannya kuat :)

    Oya, asyiknya sekarang, yang berjualan ikan dan sayur2 juga sampai malam.

    Kalau menjelang lebaran atau malam minggu, di sekitar pukul 9 malam ke atas, ramainya minta ampun. Asli orang senggol2an di sana. Harus hati2 menjaga diri (bagi perempuan) dan dompet. Untungnya saya kalau ke sana bareng body guard pribadi – suami saya :D

Tinggalkan Komentar