Karebosi Kemarin, Karebosi Sekarang [II]

Karebosi dari Google Earth

Tulisan ini adalah sambungan dari bagian pertama tentang kenangan seorang warga akan Karebosi

 

Pengalaman seperti ini saya alami secara rutin ketika memasuki periode kelas tiga SLTP – yang berarti umur lima belas. Di akhir bangku SLTP, diadakan materi pelajaran tambahan agar lebih matang mempersiapkan Ujian Akhir Nasional. Materi tambahan itu meliputi materi pelajaran yang akan diujiankan: Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Pelaksanaan materi tambahan tersebut dimulai sekitar jam setengah tiga siang. Ada waktu istirahat setengah jam dari jam bubaran sekolah. Durasi untuk materi tambah pelajaran tersebut berkisar dua setengah hingga tiga jam. Otomatis jam pulang saya menjadi setengah lima atau jam lima sore. Pada waktu pulang itulah menjadi salah satu waktu favorit saya menghabiskan waktu menuju senja.

Terkenang di saat-saat itulah saya mencoba menerobos untuk menyaksikan secara dekat latihan PSM – maklum badan saya tidak begitu tinggi. Pemain-pemain seperti Christian Gonzales, Oscar Aravena, Irsyad Aras, Syamsul Chaeruddin, dan beberapa nama lainnya yang sudah saya lupa menjadi primadona. Di masa itu, saya mengingat ketajaman tandem Christian Gonzales dan Oscar Aravena menjadi pencetak gol terbanyak. Meskipun di masa itu mereka tidak berhasil menjadi juara, toh animo masyarakat tetap setia untuk menyaksikan mereka latihan. Selesai PSM latihan, sesekali masyarakat mengerumuni pemain tersebut untuk sekedar foto atau meminta tanda tangan. Kedekatan terjadi begitu erat.

Dari lapangan Karebosi dan sepak bola juga pernah ada berita duka menaungi PSM. Kejadian itu terjadi sewaktu saya kelas empat – mungkin lima SD. Saat itu adalah masa dimana PSM merebut juara. Dengan pelatih Syamsuddin Umar, PSM merengkuh trofi Liga Indonesia – kalau saya tidak salah yang ke VI – dengan skuad yang tangguh. Hendro Kartiko, Joseph Lewono, Rony Ririn, Bima Sakti adalah sederetan nama yang meramaikan percaturan PSM. Di bagian penyerang, lawan akan merasakan keganasan tridente Kurniawan Dwi Julianto-Miro Baldo Bento-Fouda Ntsama. PSM mengalahkan PKT Bontang di final. Saat itu sistem Liga Indonesia terbagi dua wilayah: Barat dan Timur. Empat besar masing-masing wilayah akan beradu dalam grup yang dibagi dua. Urutan satu dan dua dari grup tersebut akan masuk ke dalam semifinal dan selanjutnya final.

Momen itu tidak akan pernah saya lupa. Setelah merengkuh juara, PSM tetap kembali latihan untuk mengarungi musim berikutnya. Datang kabar dari koran bahwa Fouda Ntsama mengalami cedera saat latihan. Saya mengira hanya cedera biasa yang pasti akan sembuh dalam waktu dekat. Namun, dalam waktu dekat Ntsama pun meninggal dunia. Bukan akibat cedera. Kuat diduga meninggalnya karena dia menyalahi aturan magis dari Karebosi. Ntsama sewaktu latihan kencing di sembarang tempat. Akibatnya, dia mengalami gangguan kesehatan. Konon tempat Ntsama membuang kencinganya itu adalah makam penjaga Karebosi. Sedikit banyak saya menyimak cerita dari koran tersebut bahwa ada tujuhmakam disitu. Secara dramatis Ntasama tidak tahu menahu tentang informasi makam itu harus menjadi tumbal. Sampai sekarang saya masih menanyakan apakah meninggalnya Ntsama karena hal yang berbau magis atau memang murni karena sakit? Entahlah. Hanya Karebosi yang tahu sejarahnya.

Alm. Ramang yang patungnya sempat dipajang di Karebosi (foto: Tribunnews)

Namun, Karebosi seperti itu tidak lagi ada. Karebosi yang bercokol patung Ramang di pintu masuk. Karebosi yang merambah para pengusaha obat dan minuman segar di siang hari. Para penjaja makanan pada malam hari, para pedagang di sore hari yang menemani PSM latihan, dan para penggoda waria. Semua itu sudah hilang. Semua itu tergantikan dengan tiang pancang yang mengarah ke bentuk: pusat perbelanjaan dan mal. Saya lupa secara jelas kapan mal itu dibangun, mungkin sekitar tahun 2008.

Karebosi saat ini sudah begitu elit. Begitu rupa dihiasi dengan segala macam produk budaya. Saat ini di bagian bawah Karebosi sudah jadi mal. Di bagian lapangan sudah di pangkas hingga menyisakan mungkin setengah atau kurang lapangan sepak bola. Di sisi Karebosi sudah menjadi arena parkir. Ini yang membuat saya miris, patung Ramang dirobohkan diganti dengan pintu masuk Karebosi Link. Nama yang sudah diadopsi sejak mal itu berdiri.

Saya tidak akan lagi melihat semua rutinitas usia belasan terjadi lagi. Pemandangan itu sudah menjadi satu kenangan. Kenangan yang hanya bisa dirangkai dengan tawa haru. Mungkin sebagian orang menancapkan senyuman ketika Karebosi terubah wajahnya seperti ini. Wajah yang dianggap oleh orang ini sebagai suatu bentuk kedewasaan Karebosi, tidak lagi disumpeki oleh segala macam pengusaha obat dan segala macam pedagang. Penjualan sudah seharusnya masuk ke dalam pusat perbelanjaan. Berjejal rapi. Dan jualan yang ditawarkan pun bukanlah obat atau aneka macam minuman segar murah, melainkan barang elektronik. Bila lapar ada are food court, bukan lagi disisi Karebosi dengan harga murah. Karena duit memang tidak rata dibagi.

Orang seperti inilah yang tidak menurut saya tidak menyadari esensi dari alun-alun dari sebuah kota. Alun-alun sejatinya adalah tempat pertemuan segala macam orang di penjuru kota. Tidak perduli statusnya apa. Dalam pada alun-alun semuanya berbaur. Lalu apa yang terjadi jika alun-alun di kota Makassar sudah tidak berfungsi seperti seharusnya? Karebosi kini sudah bergeser menjadi kebudayaan kalangan atas, tidak lagi menggapai moda kelas menengah ke bawah. Karebosi tergilas. Kebudayaan massa pada masanya yang bergerak dari bawah sudah berganti dengan kebudayaan massa yang terelitisasi dengan dalih memperindah ruang publik.

Ruang publik? Karebosi sekarang tidak ubahnya seperti menunggu senja. Perlahan-lahan perhatiannya kepada publik sudah terbungkus jauh dalam bentuk mal. Tidak ada lagi realitas sosial yang terjadi. Realitas sosial itu tinggal kenangan. Tidak ada lagi kerumunan manusia yang tertarik mendengarkan kesaktian penjual obat, tidak ada lagi SSB yang berlatih setiap sore – saya tidak tahu apakah MFS masih latihan atau tidak – dan tidak ada lagi jenis makanan khas yang berjejer menggunakan tenda.

Saya tahu saya bukanlah seorang pengamat tata kota yang pandai menyulap bentuk kota secara menarik. Tapi saya, satu diantara sekian puluh – mungkin ratusan(?) – yang sangat menyayangkan proses revitalisasi Karebosi dengan cara seperti ini. Proses yang seperti ini menurut saya bisa menimbulkan perbedaan kelas yang begitu mencolok. Karebosi dengan mal-nya tidak akan bisa bercampur dengan golongan kelas bawah hingga ke atas – mungkin hal demikian bisa terjadi di bagian lapangan.

Sejak saya memutuskan untuk melanjutkan studi di luar kota Makassar, kedekatan saya dengan Karebosi menjadi jauh. Pun bertambah jauh dengan segala bentuk revitalisasi-nya. Satu waktu saya pulang ke Makassar, melintasi Karebosi hanya menjadi sekedar formalitas – karena tujuan yang ingin saya capai harus melalui rute atau jalanan yang menghubungkan Karebosi. Tidak ada lagi rasa ketertarikan untuk sekedar menikmati pagi, sore, ataupun malam di alun-alun kota Makassar itu.

Semoga kau menjadi alun-alun yang membanggakan Makassar. Oh…Karebosi. Semoga Ramang tersenyum melihatmu sekarang ini.

Bagikan Tulisan Ini:

Arham (2 Posts)

Penyuka aroma Minyak Tawon


Tinggalkan Komentar