Catatan warga Makassar mengenang masa-masa bersekolahnya di sekitaran Lapangan Karebosi.
Kembali, ingatan saya melayang, pada suatu masa. Pada usia belasan. Pada masa itu, saya menikmati mulainya masuk masa mandiri. Masa mandiri saat berangkat dan pulang dari sekolah – tanpa bantuan orang yang berada di rumah – yang tentu saja merepotkan. Masa di mana saya menikmati dari apa yang dinamakan realitas angkutan kota – di kota di mana saya dibesarkan disebut pete’-pete’.
Masa penting dalam hidup saya. Karenanya saya bisa tahu arti dari kemandirian – tanpa menyinggung keuangan. Masa penting dalam hidup saya karena saya bisa merasakan semangat kolektif pertama kalinya. Semangat kolektif yang saya dapatkan bersama teman-teman saat berjalan menuju pemberhentian, dengan kisaran jarak 800 meter, pete’-pete’. Di ujung pemberhentian, di situlah berkumpul pete’-pete’ dengan segala macam jurusan. Menuju pemberhentian yang memisahkan saya dan teman-teman karena tentu saja arah ke rumah masing-masing berbeda.
Saya juga meyakini di awal usia belasan menjadi fase di mana cap anak-anak perlahan ingin dihilangkan, yang secara sadar, ingin mencoba lebih bisa mengatur hidupnya sendiri. Campur tangan orang tua pasti ada, namun tidak begitu signifikan. Selain contoh di atas yang saya sebutkan, ada kalanya di awal usia belasan mereka lebih nyaman untuk bepergian bersama temannya. Lebih banyak menggalakkan kerja kelompok ketika ada tugas – mungkin juga saat ujian sekolah.
Dalam perjalanan menuju pemberhentian tersebut, pasti ada yang selalu menemani kami. Selalu menemani langkah kami di sisi kiri jalan sepulang dari sekolah. Dia bukan sosok. Bukan benda. Melainkan ruang. Ruang yang sangat saya gandrungi pada masa itu. Jika ada uang jajan yang tersisa, sesekali kami memasuki ruang itu untuk singgah membeli bikandoang – jenis makanan dengan komposisi tepung terigu, sayuran, dan udang. Dicampurkan kemudian digoreng – dan es sirup – dengan nominal seribu rupiah. Lima ratus rupiah – yang pada masa itu masih banyak beredar dalam kertas – untuk dua biji bikandoang dan lima ratus rupiah lagi untuk segelas es sirup – sirup yang berwarna merah marun yang mengombinasikan rasa buah dengan merek DHT. Ruang itu, mempertemukan segala kelas di kota. Ruang itu memberikan interaksi yang luas; kelas bawah, menengah, hingga atas. Ruang itu membuka khazanah publik. Ruang itu bernama Karebosi.
Saya adalah satu di antara sekian generasi terakhir, mungkin menjadi juga generasi terakhir, yang merasakan nikmatnya berjalan tiap hari melintasi rindangnya pohon di Karebosi. Ya, itu adalah satu rutinitas ketika menginjak usia tiga belas tahun – pada masa itu sekolah tempat saya mengenyam pendidikan belum atau tidak (?) menyebut SMP, melainkan SLTP. Usia ketika saya mulai memutuskan – bersama adik – untuk tidak lagi menaiki antar jemput sekolah. Alasan utama adalah kami sudah bisa untuk dilepas menuju dan pulang ke sekolah dengan mandiri – mengingat usia saya dengan adik hanya berbeda satu tahun. Alasan kedua adalah lebih murahnya menggunakan pete’-pete’ dibanding antar jemput sekolah. Dari situlah saya mulai akrab secara dekat dengan Karebosi.
Dinding Pagar Ketika Karebosi Mulai Direnovasi (foto: Ipul Gassing)
Keakraban saya dengan Karebosi sebenarnya sudah terjadi sejak masuk Sekolah Dasar (SD). Lahir di awal tahun 90 dan besar di kota Makassar di era 2000-an membuat saya mengenal Karebosi. Sembilan tahun saya menimba ilmu di salah satu perguruan swasta yang bertumpu pada pendidikan keagamaan – SD hingga SLTP – dan setahun lagi untuk masa Taman Kanak-kanak (TK) – total sepuluh tahun saya berada di lingkungan tersebut. Lingkungan yang diapit oleh Karebosi. Lingkungan yang pada mulanya, mengenal Karebosi hanya sebagai lapangan sepak bola saja. Wajar, mengingat kompleks ruang ini terdiri dari beberapa lapangan sepak bola – biasanya dijadikan sebagai arena latihan klub profesional Kota Makassar, PSM.
Seberapa luas Karebosi? Saya tidak mengetahui pasti. Yang jelas dia berada di tengah empat jalan protokol Makassar: Jalan Ahmad Yani, Jalan R.A Kartini, Jalan Jenderal Sudirman, dan Jalan Kajaolaliddo. Yang terakhir disebut ini merupakan alamat tempat saya bersekolah.
Ada satu agenda yang biasa kami lakukan waktu itu menjelang hari kemerdekaan Indonesia. Gerak jalan lampion adalah salah satunya selain upacara kemerdekaan di Karebosi. Ya, Karebosi adalah arena tempat berkumpulnya sekolah di Makassar untuk mengikuti gerak jalan lampion. Arena yang berfungsi sebagai tempat dimulainya gerak jalan lampion. Kemudian mengelilingi beberapa jalan protokol di Makasar dan kembali lagi di Karebosi.
Perasaan bangga kami rasakan saat memegang aneka pernak-pernik lampion berkumpul satu di Karebosi. Kagum melihat teman-teman dari sekolah lain dengan beraneka ragam atribut lampion. Dari gerak jalan lampion ini juga, kami bisa mengetahui nama-nama sekolah lain melalui kostum yang dikenakan. Kostum gerak jalan lampion ini adalah baju olahraga dari masing-masing sekolah. Sekolah negeri menggunakan baju yang dibelakangnya tertera nomor sekolahnya, misalnya SLTP Negeri 3, SLTP Negeri 6, dan sebagainya. Bagi yang pernah mengikuti gerak jalan lampion, mungkin merasakan juga keasyikannya.
Satu Sisi Karebosi Sekarang (foto: Ipul Gassing)
Dari Karebosi juga saya bisa memperhatikan legenda sepak bola PSM Ramang berdiri megah di pintu masuk ruang itu dari arah Jalan Ahmad Yani. Seolah Ramang menjaga dengan tenang ruang tersebut. Dia mempersilakan segala macam orang maupun pengusaha masuk untuk berinteraksi, seperti pengusaha obat keliling – dari sinilah saya mendengar pertama kali kalimat “Yang jauh mendekat, yang dekat merapat. Tapi tetap perhatikan dompetnya.” Pengusaha obat yang memasarkan segala macam bentuk dagangannya dengan perlengkapan mik dan speaker minimum. Untuk melengkapi kepercayaan pengunjung, pengusaha ini memanggil satu orang pengunjung untuk mencoba khasiatnya – dan tentu saja berhasil. Belakangan setelah saya menceritakan keampuhan pengusaha obat itu, seorang teman berkata bahwa pengunjung yang dipercaya untuk mencoba khasiat obatnya adalah temannya sendiri. Dia menyamar sebagai pengunjung. “Astaga! Ada-ada saja” itulah kalimat pendek saya untuk mengakhiri rasa kagum saya.
Pengusaha semacam minuman dingin sungguh laku keras di situ, apalagi di tengah terik matahari. Tak ketinggalan penjual es krim yang menarik minat pembeli dengan melodi monoponik. Yang jika dijadikan lagu seperti ini: Beli dong /Beli dong/Aku capek dorong…
Di malam hari, Ramang mempersilakan para pengusaha makanan untuk membuka lapak dagangannya. Mereka berjejer seperti warung seafood. Seingat saya beberapa macam makanan khas ada di situ: Sop Konro, Sop Saudara, dan Coto. Lihatlah, Ramang mempersilakan bagi para pengusaha untuk membiarkan rezekinya tetap tersedia. Membagi dengan tepat waktu usahanya. Membiarkan strata sosial berkumpul dalam satu ruang publik, Karebosi. Meskipun Ramang yang saya maksud dalam bentuk patung setinggi kurang lebih lima meter – maafkan jika salah. Dan oh iya, malam hari di atas jam sepuluh malam, Karebosi juga dikenal dengan godaan waria-nya. Sungguh menarik, bukan? Karebosi adalah ruang publik yang begitu baik.
Hal yang paling mengesankan saat bersama Karebosi adalah sore hari. Ruang itu mencapai puncak betapa mustahak keberadaannya di penghujung hari; menjelang senja. Karebosi menyediakan segala macam anjangsana saat klub sepakbola kebanggaan masyarakat Makassar PSM melakukan latihan. Mulai dari penjual yang menggelar dagangannya yang berhubungan dengan atribut PSM, dari kaos, poster, atau aneka macam lainnya. Parkiran di sisi kiri sepanjang Jalan R.A Kartini mendadak penuh. Pedagang mendadak ramai.
Selagi PSM latihan, di sisi lapangan lainnya berjejalan sekolah sepak bola – saya juga pernah memimpikan bergabung dengan sekolah tersebut. Setidaknya saya mencatat ada tiga nama Sekolah Sepak Bola (SSB) di Makassar yang terkenal karena prestasinya: Bangau Putra, Persis, dan MFS (Makassar Football School). Yang terakhir disebutkan adalah SSB elit, yang memang dikelola secara manajemen untuk menyalurkan pemain mudanya kepada PSM.
Selain itu MFS ini mempunyai lapangan tersendiri di bagian Karebosi. Diberikan pagar untuk membatasi. Ya, MFS ini sarat dengan kompleksitas termasuk biaya masuknya. Berbeda dengan Bangau Putra dan Persis yang menggunakan lapangan kosong di Karebosi. Kedua SSB ini mungkin melakukan asas siapa cepat, dia dapat. Entahlah, saya tidak mengetahui pasti. Dan Bangau Putra serta Persis adalah SSB yang diisi oleh anak-anak dengan kemampuan ekonomi orang tuanya menengah kebawah. Tapi toh, prestasi kedua SSB ini tidak kalah mentereng dengan MFS. Mereka bisa bersaing dengan MFS di samping kedua SSB ini lebih dulu muncul. (Bersambung)