ilustrasi
Dalam tulisan sebelumnya diceritakan riwayat kelahiran dan proses belajar dari seorang Kajao La Liddong atau La Mellong. Pada tulisan kali ini akan dibahas lebih detail tentang peranan beliau sebagai pemikir kerajaan Bone.
Setelah diangkat menjadi penasehat kerajaan Bone, La Mellong yang kemudian dianugerahi gelar sebagai Kajao La Liddong benar-benar menunjukkan kualitasnya yang mumpuni. Di masa pemerintahan Raja Bone VI La Uliyo Botee dan Raja Bone VII La Tenri Rawe Bongkange, Kajao La Liddong benar-benar menunjukkan kecerdikan dan kebijakannya.
Pada masa pemerintahan kedua raja tersebut, Kajao La Liddong merumuskan pola dasar pemerintahan yang digunakan dalam pelaksanaan sistim pemerintahan dan kemasyarakatan. Pola dasar yang disebut pangaderreng (adat istiadat) ini mempunyai garis utama sebagai berikut:
- Lempue nasibawai tau (kejujuran yang dibarengi ketakwaan).
- Ada tongeng nasibawai tike (kebenaran yang dibarengi kewaspadaan).
- Siri nasibawai getteng (rasa malu atau harga diri dibarengi keteguhan hati).
- Awaraningeng nasibawai nyamekkininnawa (keberaninan dibarengi kasih sayang).
- Appesona ri Dewata seuwae (berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa).
Dari kelima komponen tersebut, Kajao menitikberatkan pada 3 komponen yaitu: kejujuran, kecerdasan dan keberanian. Dalam berbagai catatan lontara memang disebutkan kalau sepanjang hayatnya Kajao La Liddong memang seorang yang berani, tegas, jujur dan tidak pernah berbohong.
Sebelum benar-benar dipercaya sebagai penasehat kerajaan, Kajao La Liddong telah melalui serangkaian test yang dilakukan langsung oleh Raja Bone. Salah satunya adalah ketika sang raja bertanya kepada Kajao La Liddong, adakah yang lebih kuat daripada senjata?
Dengan lemah lembut Kajao La Liddong menjawab bahwa senjata itu justru lemah. Ada yang lebih kuat daripada senjata, yaitu persatuan. Raja awalnya membantah jawaban Kajao, tapi dengan penuh percaya diri Kajao memberi bukti. Sebatang lidi dengan mudah dipatahkannya, tapi ketika ratusan lidi diikat menjadi satu, tak ada seorangpun yang bisa mematahkannya. Itulah gambaran kuatnya persatuan yang disebut Kajao La Liddong lebih kuat dari senjata manapun.
Kecerdasan politik, kedewasaan berpikir dan kebijaksanaan serta kemurahan hati Kajao La Liddong bertambah dari hari ke hari sehingga perlahan membuat raja semakin percaya kepadanya. Puncaknya adalah ketika raja memberinya gelar kehormatan To Suwalle Tau Tongeng Maccae Ri La (orang bijak, orang yang benar-benar cerdas di La). Dengan gelar kehormatan tersebut maka nama lengkap Kajao La Liddong menjadi La Mellong To Suwalle Kajao La.
Mempersatukan Kerajaan Bugis.
Ketika terjadi perang antar kerajaan Bone dan kerajaan Gowa pada tahun 1550-1557, Kajao La Liddong sudah berusia 57 tahun yang merupakan puncak kematangan seorang pemikir. Pada masa peperangan tersebut Kajao La Liddong berhasil membuktikan kecerdasan, keberanian dan kecintaannya pada perdamaian.
Ketika Raja Gowa XI Tajibarani Dg. Marompa Karaeng Data tewas dalam pertempuran melawan Bone, Kajao La Liddong berinisiatif mengembalikan jasad rang raja ke kerajaan Gowa. Usulan ini diterima oleh Raja Bone. Pengembalian jenazah ini sebagai perlambang bahwa sesungguhnya kerajaan Bone adalah kerajaan yang cinta damai. Itikad baik ini juga membuat kerajaan Bone dihargai dan disegani oleh kerajaan-kerajaan lainnya.
Kematian Raja Gowa tersebut juga sekaligus menandai berakhirnya perang kerajaan Gowa dan kerajaan Bone. Kedua pihak kemudian sepakat untuk menandatangani perjanjian perdamaian. Dalam perumusan perjanjian perdamaian yang disebut Perjanjian Caleppa (tahun 1565) ini peran Kajao La Liddong sangat besar. Isi perjanjian sangat menguntungkan kerajaan Bone ketika itu, semua berkat diplomasi dan kecerdikan seorang Kajao La Liddong.
Adapun isi Perjanjian Caleppa adalah sebagai berikut:
- Bone minta kemenangan dengan diberikan wilayah sampai batas sungai Walanae sebelah barat sampai Ulaweng sebelah utara.
- Sungai Tangka menjadi perbatasan dengan bagian utara kekuasaan Bone dan bagian selatan kekuasaan Gowa.
- Negeri Cenrana masuk kekuasaan Bone, oleh karena dahulu memang ditaklukkan oleh Raja Bone yang bernama La Tenri Sukki Mappajunge (Raja Bone V) sebagai hasil kemenangannya dalam perang melawan Raja Luwu bernama Raja Dewa.
Perjanjian damai itu ternyata hanya bertahan selama 10 tahun. Suksesi kerajaan Gowa yang kemudian dipimpin oleh I Manggaroni Daeng Mammeta Karaeng Bonto Langkasa sebagai raja Gowa XII ternyata hanya menunggu waktu sebelum kembali berusaha menaklukkan kerajaan Bone.
Sebagai seorang penasehat kerajaan yang cerdik, Kajao La Liddong sudah mengantisipasi kemungkinan tersebut. Sejak awal dia sudah mempunyai firasat bahwa perjanjian damai tersebut dijadikan strategi oleh kerajaan Gowa untuk mempersiapkan diri dan kekuatan sebelum melakukan agresi lagi. Ketika firasatnya terbukti benar, Kajao La Liddong sudah mempersiapkan strategi khusus untuk mempertahankan kedaulatan kerajaan Bone.
Ketika itu kerajaan Gowa sudah membangun koalisi dengan beberapa kerajaan lainnya seperti Kerajaan Mataram, raja-raja di Banjarmasin, Raja Maluku dan raja-raja di Timor. Tahun 1582 Kajao La Liddong memohon kepada Raja Bone agar diberi kesempatan untuk menyatukan kerjaan Soppeng dan kerajaan Wajo sebagai kerajaan tetangga terdekat.
Permohonan tersebut disetujui, dan Kajao La Liddongpun mencetuskan gagasan persekutuan tiga kerajaan yakni: Kerajaan Bone dengan rajanya La Tenriawe Bongkange, kerajaan Wajo dengan rajanya La Mungkace Touddamang serta kerajaan Soppeng dengan rajanya La Mappaleppe Patolae.
Perjanjian persekutuan tiga kerajaan itu dicetuskan di Kampung Bunne dalam wilayah Wanuwa Timurung sebelah utara Bone. Ikrar tersebut lazim disebut Tellumpoccoe yang ditandai dengan menenggelamkan tiga buah batu sehingga kemudian dikenal juga dengan nama, Lamumpatue Timurung.
Gagasan mempersatukan ketiga kerajaan Bugis ini ternyata sangat gemilang. Kerajaan Gowa yang tadinya hendak melakukan agresi ke kerajaan-kerajaan Bugis akhirnya berpikir seribu kali karena mengganggu satu kerajaan berarti mengganggu kerajaan-kerajaan lainnya. Filosofi “persatuan adalah kekuatan yang tak terhingga” berhasil dibuktikan dengan sangat gemilang oleh Kajao La Liddong.
Bersambung.
* Selain sebagai pemikir kerajaan yang cerdas dan bijaksana, Kajao La Liddong dikenal juga sebagai orang yang cerdik dan humoris. Pada tulisan berikutnya akan diceritakan bagaimana kecerdikan Kajao La Liddong bisa mengecoh banyak orang sehingga dia pantas diberi gelar Abu Nawas dari Bugis.
** Cerita ini disarikan dari buku “Kajao La Liddong, Pemikir Besar Dari Tanah Bugis” yang ditulis oleh Asmat Riady Lamallongeng dan diterbitkan oleh La Macca Press, 2006.