Dari Pasar Cidu ke Pasar Sentral

Ini merupakan catatan kegiatan tur pasar yang dilaksanakan AcSI (Active Society Institute), satu komunitas yang selama ini rajin melaksanakan penelitian di pasar-pasar lokal di Makassar. Berikut catatan tur dua pasar, Pasar Cidu dan Pasar Sentral.

Peneliti AcSI (Active Society Institute) melakukan kunjungan ke Pasar Cidu 28 Juni 2009 [foto: Ishak Salim]

KAMI masuk ke Pasar Cidu pada Minggu pagi itu, tanggal 28 Juni 2009. Melihat aku membawa kamera, para pedagang mulai berbisik-bisik.

Engka passoting!” teriak salah seorang dari mereka. Ada tukang shooting katanya.

Sini dule e, soting ka!” teriak seorang pedagang ikan, permintaan serupa.

Tak jauh dari suara tadi ada penjual lappo’ (kembang jagung, popcorn) yang menarik penutup tabung khusus pembuat kembang jagung. Tabung ini mengeluarkan letusan (Mks. lappo’) begitu penutupnya dibuka berikut dengan jagung mekar yang menghambur.

Kami lalu menyusuri pasar lebih ke dalam dengan berpencar. Pasar ini kecil saja. Bila dihitung panjang jalan, hanya sekisar 200 meter.

Pasar Cidu, seperti kebanyakan pasar lokal lainnya, padat tak tertata. Sampah yang tak terangkut, got mampat, genangan air menghitam dan aroma sayur atau ikan dan ayam potong yang membusuk menjadi pemandangan dan aroma sehari-hari.

Tapi, di Kota Makassar, bukan hanya pasar yang punya gambaran seperti itu. Got mampat dan sampah tak terangkut juga pemandangan di permukiman-permukiman tertentu. Dalam urusan ini, khususnya urusan menata pasar rakyat, saya pikir, Pemerintah Kota Makassar benar-benar beroleh nilai jeblok!

Di Pasar Cidu, pedagang kecil datang menjual dan orang-orang biasa datang berbelanja. Ada Daeng Salli, bekas penderita kusta, dan beberapa rekannya yang agaknya sulit bekerja normal datang mengais rezeki di pasar ini. Melihat keduanya akan menggugah keperihatinan kita sebagai manusia. Untuk itu, dari kebaikan orang-oranglah mereka menikmati hidup dari pasar ini.

Berjalan di Pasar Cidu bagai berjalan di tengah kampung. Pasar ini menyatu dengan kampung dan tentunya rumah-rumah warga Tabaringan. Keramaian setiap hari juga tak berlangsung sepanjang hari. Hanya sampai jam 12 siang seluruh pedagang sudah berbenah. Namun, menariknya, pada sore hari pasar ini akan ramai kembali. Armada penjual ikan akan mengisi bibir lorong Pasar Cidu ini.

Usai mengelilingi pasar, kami rehat sambil minum kopi racikan Daeng Naba’. Penikmat kopi Makassar menyebut kedainya ‘Assauna Dottoro’. Makna kata itu serupa ekspresi kelegaan hati setelah menyelesaikan pekerjaan atau keluar dari himpitan. Karena racikan kopi Daeng Naba’ begitu khas, banyak orang mengagumi kopi racikannya. Menurut kabar, Daeng Sija, salah seorang peracik kopi Makassar yang dikenal luas sekarang, dulu bergurunya pada Daeng Naba’.

NUR KASIM, lewat blog pribadinya http://nurkasim49.blogspot.com, menyebut bahwa sejak 1917 sudah ada retribusi pasar berikut seberapa besar pemasukan bagi kas pemerintah kolonial dari pedagang pasar. Peraturan ini disusun Pemerintah Belanda untuk mengatur pasar yang baru dibuat, yakni Pasar Butung.

Delapan tahun setelah ini, aturan baru dibuat, yaitu Passer Verponding (Peraturan Pasar) yang disusun oleh de Gemeenteraad van Makassar (Dewan Kota Makassar). Pemerintah Kota, dalam hal ini de Burgemeester Dambrink, menetapkan pada 7 Juli 1925 dalam de Javasche Courant tanggal 21 Agustus 1925 Nomor 67 yang terdiri dari 47 pasal.

Dalam Pasal 8 tertera, bahwa yang menggunakan bangunan dalam pasar untuk tiap petak sebulan serendah-rendahnya 10 sen dan setinggi-tingginya 50 sen. Sementara bagi yang menempati area luar bangunan atau pelataran dalam sehari membayar setinggi-tingginya 30 sen. Besaran tersebut mempertimbangkan luasan tempat dan bagian pelataran.

Dari sejumlah pasar yang ada seperti Butung, Pattunuang, Baru, Lojia, Parang, dan Parang-Layang, Pasar Butung-lah yang paling tinggi pemasukannya, sebesar 3.975 gulden dari total 9.277 gulden (dalam setahun?). Besaran satu gulden saat itu senilai 100 sen dan saat Indonesia memberlakukan mata oeang roepiah 100 sen sama dengan 1 rupiah. Jadi 9.277 gulden pemasukan dari seluruh pasar di kota Makassar saat itu sama dengan 9.277 rupiah atau senilai 927.700 sen.

Jika mengasumsikan harga nasi bungkus masa itu adalah 0,5 sen per bungkusnya, maka pendapatan seluruh pasar itu setara 1.855.400 nasi bungkus (hasil perkalian 2 x 927.700 sen). Jika dikonversi dengan harga nasi bungkus sekarang seharga Rp 5.000 maka nilai pendapatan pasar itu 1.855.400 x 5.000 = Rp 9.2 miliar sekarang!

(Harga nasi campur 0,5 sen/bungkus pada ‘zaman normal’ ini diperoleh dari sebuah situs http://www.kaskus.co.id/showpost.php?p=33398771&postcount=5 yang sedang mengukur tingkat kesejahteraan warga pada zaman itu dengan mewawancarai seorang informan yang merupakan kerabatnya yang hidup di zaman itu. Jadi perhitungan ini berdasarkan perkiraan dari saya.)

Pemasukan ini jauh di atas ketimbang jumlah pendapatan Kota Makassar sekarang. Dalam laporan Perusahaan Daerah Pasa Makassar Raya, dari 57 pasar yang 16 pasar di antaranya kategori besar dan resmi, pemasukan kota dari retribusi pasar hanya Rp 5,8 miliar tahun 2011. Menurut Direktur PD Pasar Makassar Raya, Hakim Syahrani, pundi-pundi Pemkot dari pasar hanya berkisar 487 juta/bulan.

Bilangan ini bisa jadi lebih kecil lagi jika dibandingkan dengan pendapatan Kota Solo di masa Joko Widodo. Dalam setahun, Solo dengan jumlah penduduk hanya sepertiga dari Makassar (500.642 jiwa) dengan jumlah pasar 49 (19 di antaranya telah direvitalisasi) mampu memeroleh pemasukan Rp 13 miliar! Sebuah bilangan yang menunjukkan bahwa secara teknis pengelolaan pasar lokal Pemkot Makassar jauh dari maksimal.

 

Kunjungan AcSI (Active Society Institute) Ke Pasar Sentral 28 Juni 2009 [foto: Ishak Salim]

Ke Pasar Sentral                                                           

SIANG sudah membara saat kami meninggalkan warung kopi dottoro’. Keluar dari Jalan Tinumbu kami menuju Jalan Andalas. Ruko-ruko di sisi jalan menjadi penghias kepadatan kota. Kami mengarah ke Pasar Sentral yang siang itu sangat padat oleh kendaraan bermotor.

Sebenarnya, kepadatan ini bukan karena pengunjung yang akan ke pasar Sentral, pasar yang melegenda beberapa puluh tahun lalu. Mereka hanyalah pengunjung Makassar Mall, bangunan megah yang dibangun di atas Pasar Sentral.

Pengendara saling membunyikan klakson begitu terhenti. Kami masuk melalui pos parkir khusus motor, mengambil secarik karcis setelah petugas mengetikkan nomor seri motor kami dan mecetaknya, selanjutnya kami memarkir motor di tempat yang teduh.

Sejak memasuki kawasan perbelanjaan yang kini bernama ‘Makassar Mall’ ini, mataku tertuju ke bangunan besar yang dari luar tampak kusam. Begitu besar, tapi tak tampak megah. Ingatanku melambung ke cerita Idris, seorang pedagang pasar beberapa hari lalu di warung kopi Herman di Pasar Terong. “Pasar Sentral dulu ada tamannya. Baik pedagang maupun pembeli menikmati taman itu.”

Hari ini kami tak menemukan taman itu lagi.

Dalam paparan Nur Kasim via blognya, pada awal tahun 1940 (1940-1945) berdiri pasar darurat di sebelah timur pekuburan Cina Pattunuang, yang kemudian disebut Pasar Cinayya (Pasar Cina). Penamaan ini merujuk pada sebagian besar pasar darurat ditempati berjualan orang-orang Tionghoa dan Melayu yang bertempat tinggal di sekitarnya. Pasar inilah kemudian menjadi Pasar Sentral pada tahun 1964.

Suatu hari di tahun 1962, terjadi kebakaran besar di Kampung Jera Pattunuang yang menghanguskan semua rumah yang berada di sekitar pekuburan Tionghoa. Lokasi kebakaran itu membentang dari sebelah timur Jalan Irian dan penjara besar di Jalan Nusakambangan sampai ke Bioskop Dewi. Akibat kebakaran itu terjadi pemindahan penduduk warga Makassar oleh Walikotapraja Makassar ke Kalukuang dan Panaikang.

Lalu di mana para pedagang Pasar Sentral yang dulu berdagang di sini dan masih berdagang hingga hari ini? Kami masuk gedung dan menyusuri lantai dasar. Begitu turun, kepengapan udara mulai terasa. Warna kelam mendominasi area basah ini. Beberapa pedagang sayur mayur, rempah-rempah dan ikan masih beraktivitas. Hamparan lods itu tampak lebih sepi. Lebih menyerupai penjara bawah tanah ketimbang pasar, batinku.

TAK lama setelah kebakaran kampung Jera Pattunuang itu, lahan dikosongkan dan penduduk setempat dipindahkan. Pemerintah merencanakan sebuah pasar rakyat yang megah dibangun di atas tanah ini. Dalam rancangan, ada dua taman melengkapi kemegahan bangunan tersebut.

Di sekitar lokasi itu ada kuburan Tionghoa. Pemerintah memindahkan seluruhnya ke Bantujangang Panaikang. Lalu, untuk memudahkan jalur transportasi pembeli – pedagang, pemerintah membangun jalan baru yang tembus dari Jalan Jenderal Sudirman Karebosi menuju lokasi pasar dan Jalan Irian. Tahun 1964, pasar mewah itu didirikan. Namanya Pasar Kota. Di depan pasar itu berdiri pula stasiun kendaraan angkutan antar kota. Kini pengucapan kata ‘stasion’ tidak jamak lagi; orang lebih akrab dengan kata ‘terminal’. Bahkan, pemerintah juga menyediakan Stasion Bemo (becak-motor) untuk jurusan Pasar Sentral, Pa’baeng-baeng, dan Sungguminasa.

Nama Pasar Kota berganti dengan Pasar Sentral pada 1970. Dari namanya, pasar ini benar-benar menjadi pusat kunjungan bukan hanya orang seluruh Makassar, tapi juga dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Sayangnya, kemegahan pasar Sentral hanya bertahan 30 tahun. Pada 1994 pemerintah melalui pengembang PT Melati membongkar Pasar Sentral dan berdirilah sebuah mal termegah saat itu dengan nama Makassar Mall.

Sejak Pasar Sentral berubah bentuk dari hamparan ke bangunan bertingkat, sebagian kecil pedagang basah ini terselamatkan di lantai dasar bangunan berlantai empat ini. Mereka diberikan ruang berjualan berupa lods. Tapi rupanya berjualan di lantai dasar tak menyelamatkan kehidupan mereka. Pedagang ‘basah’seperti ikan dan daging serta aneka sayuran dan rempah-rempah pasrah menikmati area jual-beli yang jauh dari kenyamanan. Pengap, kotor, dan sepi.

Menurut mereka, lokasi yang tepat bagi pedagang ‘basah’ bukanlah di lantai dasar di mana permukaan tanah lebih tinggi dari pada saluran pembuangan air dan tempat menjual mereka. Lokasi mereka seharusnya, sebagaimana pasar Sentral yang lalu, di area terbuka di mana mereka bisa menikmati udara segar dengan taman yang hijau.

Hari-hari kemudian, pembeli dagangan mereka semakin surut seiring perubahan citra Makassar Mall sebagai pusat pertokoan dan semakin memudarnya kebesaran Pasar Sentral. Satu per satu pedagang-pedagang ini keluar bangunan dan mulai mencari tempat berjualan baru.

Salah satu jalan yang mereka duduki adalah Jalan Bacan. Jalan ini merupakan permukiman Tionghoa. Menurut penuturan Kepala Pasar Bacan, awalnya ada penolakan dari warga atas meningkatnya jumlah pedagang berjualan di sana. Dialog pun berlangsung antara warga dengan pedagang. Singkat cerita, baik warga maupun pedagang membutuhkan pasar semacam ini. Kesepakatan pun dibangun. Pedagang boleh berjualan sejak pagi buta hingga pukul 10 pagi. Selebihnya, sebelum jam 12 siang, Jalan Bacan sudah harus bersih dan mobil-mobil warga sekitar dapat lalu lalang tanpa terganggu baik oleh lapak maupun bau tak sedap.

SETELAH berpamitan dengan beberapa pedagang yang masih bertahan di lantai dasar tersebut, kami meninggalkan gedung ini. Suara bising kembali terdengar begitu kami keluar dari mulut bangunan ini. Dari tugu air mancur yang kini tak berfungsi lagi, terlihat bangunan Makassar Trade Center (MTC). Di depannya berdiri Karebosi Link yang memanjakan pengunjungnya dengan AC dan aneka kenyamanan. Kabar terakhir, jalur pete-pete yang melintasi Sentral akan dibelokkan ke Karebosi Link. Ah, rencana apalagi yang sedang diracik oleh pengelola kota?[]

 

(Ishak Salim, @isangkilang, peneliti Active Sosiety Institute [AcSI])

 

Catatan: Entahlah, baru saya sadari, kunjungan kami ke pasar Sentral 28 Juni 2009 rupanya bertepatan dengan tanggal yang sama dua tahun kemudian di mana, pada hari Selasa dini hari, tanggal 28 Juni 2011 Makassar Mall terbakar. Nyaris seluruhnya dilalap api! Untuk seluruh pedagang yang merugi, saya turut berduka (Ishak Salim)

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (172 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


Tinggalkan Komentar