Oleh Ika Farihah Hentihu*
Sedang berada di Malang tapi kangen minum Kopi Phoenam Makassar? Wow.. jauh. Tapi jangan berkecil hati, keinginan minum kopi itu bisa terwujud karena ada di Cafe Makassar di Jl Galunggung, Kota Malang. Seperti apa kopi Phoenam yang legendaris itu?
Salah satu hal yg menarik yang bisa ditemui di Makasar adalah banyaknya kedai kopi atau warung kopi yang lebih sering disebut warkop. Kota ini menjelma menjadi surga buat pecinta kopi. Makasar akan menjelma menjadi “kota warkop” kedua terbesar setelah Aceh yang memang disebut sebagai “propinsi sejuta kedai kopi”.
Secara geografis, Makasar bertetangga dengan Toraja sebagai penghasil kopi torabika dengan rasa khas (Toraja adalah gudang kopi terbesar di wilayah timur Indonesia). Kopi Toraja adalah memiliki cita rasa yang berbeda dan khas dibanding dengan dengan kopi dari wilayah lain di dunia ini. Mutu kandungan tanah (soil) di pegunungan Sulsel tempat dimana kopi ditanam inilah yang membuat rasa kopi ini menguat saat diseruput.
Bicara kopi, maka kita harus segera melirik salah satu pionir warkop di sini yg terkenal disebut dengan nama “Phoenam”. Didirikan tahun 1946 oleh salah satu warga keturunan, Phoe Nam atau Phoenam memang hanya mengkhususkan menjual kopi. Phoenam sendiri artinya “terminal” atau “tempat singgah”. Nama yang unik, dan brand ini sudah ada sejak puluhan tahun silam.
Bila sudah berada di Cafe Makassar, rasanya tak lengkap bila tidak mencicipi jajanannya. Ada semacam pastel dengan isian yang cukup mengagetkan juga saat mendapatkan gigitan pertama. Isinya ternyata abon ikan, bihun dan sayur2an dan juga lemper yang khas dibungkus dengan daun pisang dan dibakar. Isinya juga memanjakan lidah dan tenggorokan, bumbunya berasa begitu hangat.
Dan yang pasti Coto Makassarnya. Pengalaman saya, semua teman yang saya ajak ke sini rerata menambah porsi lontongnya. Kecil tapi gurih, rupanya lontong ini dimasak dengan santan. Konon Coto Makassar ini adalah hidangan para raja Sulsel. Saat menyantap temen2 mengira, lontong tersebut dipotong dan dimasukkan kedalam mangkok, walhasil mangkoknya jadi kepenuhan. Maklum mangkok yang dipergunakan untuk coto Makassar ini lumayan kecil. Hingga kemudian saya jelaskan bahwa lontongnya cukup digigit aja, nggak perlu dimasukkan ke dalam mangkok coto. Di Malang kita memang biasa memasukkan lontong ke dalam mangkok bakso.
Saat menyantap temen2 mengira, lontong tersebut dipotong dan dimasukkan kedalam mangkok, walhasil mangkoknya jadi kepenuhan. Maklum mangkok yang dipergunakan untuk coto Makassar ini lumayan kecil. Hingga kemudian saya jelaskan bahwa lontongnya cukup digigit aja, nggak perlu dimasukkan ke dalam mangkok coto. Di Malang kita memang biasa memasukkan lontong ke dalam mangkok bakso.
Ajak pula teman-teman untuk menikmati jajanan khas Makassar yang lain yaitu Es Pisang Ijo. Mungkin pada penasaran bentuknya yang hijau panjang, dan sausnya yang legit2 manis gurih. Hmm ternyata rasa campuran santan dan sirup merah memberikan sensasi yang berbeda.
Menikmati jajanan di Cafe Makassar ini memang sungguh memuaskan, pulang perut kenyang dan yang penting serasa berada di Makassar.
*Ika Farihah Hentihu lahir dan besar di kota Malang Jawa Timur, pengajar di Jurusan Sastra Inggris. Saat ini sedang tertarik kepada sejarah, antropologi dan budaya Sulawesi khususnya Sulawesi Selatan.
Sedap! Tulisan renyah membangkitkan air liur…:)
Hihihi..renyah yah.. Wah nggak bisa kurus nih kalau negini..makanan Makassar enak2 sih.
nyamanna cotoa… rindu coto terasa asli coto, beberapa coto yang pernah saya dapati di rantau terasa ‘soto’
Qeqeqe..coto rasa soto yah? Wawh..beda jauh donks. Itulah saya coba di Cafe Makassar ini.. Serasa di Makassar..ehehe
meluncur ke TKP… thank youuu
Pingback: URL·