Sebuah motor masuk alun-alun, melintas di antara patung pemain sepakbola dan Patung Pa’raga yang menyambutnya. Malam belum menua. Tetenda Sop Saudara masih buka. Di depan tenda, bagian kanan bangunan alun-alun kota, tiga orang terpaku pada layar televisi menyaksikan pertandingan sepakbola. Sesekali mereka meneguk kopi yang tak lagi mengepulkan asap. Seorang lagi asyik menghitung uang di depan toilet. Rupanya banyak orang buang hajat. Beberapa meter dari situ, di sisi timur lapangan, di antara jejeran palem dan temaram lampu merkuri berlangsung sebuah percakapan hangat.
“Oe telens, onomi’ lekongku,” ujar seorang pada temannya sambil mencolek.
“Osh, cucco ji?” tanya yang satunya.
Tanyanya belum sempat terjawab, ia bertanya lagi “Sepong nemesnya, longka ji?”
Yang ditanya hanya tersenyum dan mengibaskan rambutnya yang terurai sebahu. Aroma white musk meruap dari tubuh yang mengenakan tank top dan jeans ketat hitam. Perlahan ia merogoh tas selempang dan mengambil sebatang rokok dari bungkusan rokok tanpa mengeluarkannya dari tas. Ia lalu membakarnya, asap rokok mengepul bercampur aroma tubuhnya. “Lekongku batari gedong dan kaya. Tadi malam kulo diajak tabu dan blonjong di mall. Kulo bermanis-manis jambu deh.”
Kata Mereka