Bala Tau, Pengadilan Kerajaan Balanipa di Tammejarra

Tammejarra adalah nama sebuah desa di Sulawesi Barat. Desa ini dulunya merupakan tempat mengadili dua pihak yang berselisih.

Matahari bersinar redup sore itu di Tanah Mandar. Saya menyaksikan alunan dan arakan pesta budaya Sayyang Pattudu’ di Desa Tammejarra, desa yang tak jauh dari Tinambung. Karena pesta budaya ini sudah sering sekali dilaksanakan di Bumi Mandar maka saya pun menganggapnya biasa-biasa saja. Setelah mengambil beberapa foto menggunakan gadget mini, saya pun bergegas menuju ke sebuah warung kecil yang beratapkan rumbia.

Ya, menikmati kopi hangat dengan nuansa pedesaan sebuah anugrah yang luar biasa dan jarang saya dapatkan di kota seperti Makassar. Tiba-tiba suara terdengar seperti pertanyaan yang menuju ke saya.

“Dari mana, Nak?” kata suara itu.

Ternyata sosok orang tua bertubuh sedikit kurus, tidak memakai baju, dan rambutnya dipenuhi uban. Ia adalah Puang Rannu pria. Usianya tujuhpuluhan tahun.

“Saya dari Tinambung, Puang. Datang melihat pesta tadi,” jawab saya.

Percakapan kami pun berlanjut, sekali-kali kami mengangkat gelas kopi yang sudah sedikit agak dingin.

Tidak berselang berapa lama kami bercerita, ia lalu menceritakan sebuah tempat sakral di Desa Tammejarra. Tempat itu konon kala zaman Kerajaan Balanipa menjadi sebagai tempat pengadilan kerajaan. Balanipa adalah sebuah kerajaan tertua di Tanah Mandar sekaligus cikal bakal dari kerajaan-kerajaan yang tersebar Mandar.

Memang dahulu di masa Kerajaan Balanipa, Tamajarra merupakan tempat dicetuskan “Assitalliang Tammejarra”, janji yang dicetuskan oleh raja-raja di Mandar di wilayah pantai. Raja-raja yang bersumpah itu yakni Raja Balanipa (Tomepayung), Raja Sendana (Puatta I Kuqbur), Raja Banggae (Daetta Melanto), Raja Pamboang (Daeng Malewa Tomelake Bulawang), Raja Tappalang (Puatta Karanamu), dan Raja Mamuju (Tomojammeng). Mereka bersumpah untuk membuat sebuah ikatan kekeluargaan antar sesama Kerajaan Mandar.

“Dulu di kampung ini adalah sebuah tempat pengadilan Kerajaan Balanipa,” kara Puang Rannu, seraya menunjuk ke tempat yang disebut bala tau berada, “di situ tersimpang sejarah yang membuat keberanian Suku Mandar terkenal,” sambungnya.

Bala tau, jelas Puang Rannu, merupakan arena kaum pria diadili oleh Kerajaan Balanipa dalam bentuk baku tikam dalam sarung. Dahulu di Kerajaan Balanipa, bila ada kasus yang sulit diselesaikan dan kedua belah pihak tidak ada yang mau mengalah, maka pihak kerajaan akan menggelar pengadilan untuk rakyatnya yang membutuhkan. Pengadilan tersebut dipimpin oleh seorang Pabicara atau hakim.

Menurut penuturan Puang Rannu, ketika keduanya diadu dalam sarung, pihak yang salah akan ketahuan karena akan terkena badik (dilukai oleh badik lawannya) saat pergumulan sarung tersebut. Adapun mereka yang betul-betul tidak bersalah, dengan kekuasaan Tuhan, tidak mempan badik lawan.

Saling tikam dalam sarung tadi hanya berlaku untuk kaum pria. Sedang untuk kaum perempuan, pengadilan itu akan menyediakan satu kuali air yang dididihkan. Selain air, biasa juga pengadilan akan menyediakan pasir yang membara. Kedua perempuan yang berkasus akan memasukan tangan mereka dalam kuali yang telah berisi air atau pasir panas. Siapa pun pihak yang tangannya melepuh akibat panasnya air atau pasir tersebut, maka dialah yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan Kerajaan Balanipa. Bagi pihak yang benar tak bakal merasakan apa-apa.

Setelah perbincangan yang tidak terduga dengan Puang Rannu, langit sudah berubah menjadi jingga yang indah. Saya pun berpamitan.

“Tabe, sudah mau malam. Nanti lain kali saya datang dan ingin melihat tempat yang Puang ceritakan tadi.”

Saya pun pulang ke rumah dengan rasa penasaran yang dalam karena tidak sempat melihat bala tau yang diceritakan Puang Rannu tadi. Sudah dua kali saya kembali ke warung kopi itu dan Puang Rannu tidak pernah terlihat.

Saya sempat menanyakan ke penjaga warung. Kata Penjaga Warung, rumah Puang Rannu berada di atas Desa Tamajarra.

“Hari itu sengaja ia ke sini untuk melihat salah satu cucunya mappenre tamma dalam acara sayyang pattudu.

Sayangnya, sampai saat menyusun tulisan ini, penasaran saya akan tempat bernama bala tau itu belum juga hilang. Semoga di lain waktu saya bisa mengunjungi tempat sakral itu.[]

[Beberapa informasi tentang Temmajarra dikutip dari: http://ridwanmandar.com/2011/12/11/tammejarra-desa-kuno-itu]

(Ucup @Lontaraa, seseorang yang selalu belajar dari kearifan lokal budaya Bugis dan Makassar)

Bagikan Tulisan Ini:

Makassar Nol Kilometer (181 Posts)

Sebuah ruang termpat berkumpulnya warga kota Makassar mencatat dan bercerita tentang dinamika kota dari kaca mata warga. Kami membuka ruang seluas-luasnya bagi warga untuk berkontribusi di laman ini.


Tags: Kerajaan Balanipa, Mandar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


1 + = ten

You may use these HTML tags and attributes: